• UGM
  • IT Center
  • Perpustakaan Pusat
  • Research
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
  • Home
  • Tentang Kami
    • sejarah
    • Visi dan Misi
    • Profil Pengurus
      • Plt Kepala PSKP
      • Sekretaris
    • Profil Tim Ahli
    • Profil Peneliti
    • Profil Karyawan
    • Struktur Organisasi
    • Patner
  • Penelitian
  • Kegiatan
    • Workshop
    • Konferensi
    • Pelatihan
    • Diskusi
    • Advokasi
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Monograf
    • Buletin
    • Buku Saku
    • Newslatter
    • Artikel
  • Ruang Pustaka
  • Beranda
  • Newslatter
  • PELA Newsletter Vol. 3 No. 1

PELA Newsletter Vol. 3 No. 1

  • Newslatter, Publikasi
  • 17 March 2017, 08.32
  • Oleh: Admin Jr
  • 0

       

Edisi Vol. 3 No. 1 – September 2005
Pendidikan untuk Perdamaian
Kontributor
dan Editor
Lambang Trijono , Samsu Rizal Panggabean, M. Najib Azca, Arifah Rahmawati, Muhadi Sugiono, Tri Susdinarjanti, Diah Kusumaningrum, Dody Wibowo, Nurul Aini, Moch. Faried Cahyono, Kristina Sintia Dewi, Ni Komang Widiani, Frans de Djalong, Zuly Qodir
Bahasa Indonesia dan Inggris
Pendidikan untuk perdamaian (education for peace) merupakan sarana penting untuk membangun perdamaian, terutama dari sisi budaya. Ini merupakan bagian utama dari pengembangan budaya damai di masyarakat (culture for peace).

Meskipun intinya tidak jauh beda, pendidikan untuk perdamaian perlu dibedakan dengan pendidikan perdamaian (peace education). University of Peace (UPEACE), dalam rancangan strategisnya, mengartikan pendidikan untuk perdamaian mencakup semua jenis proses belajar, pelatihan, dan penelitian berkaitan dengan upaya membangun perdamaian. Setiap bentuk riset, lokakarya, pelatihan, seminar, yang dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran (rising awareness) dalam pencegahan konflik di masyarakat, misalnya, masuk dalam kategori ini.

Sementara, pendidikan perdamaian, atau pendidikan untuk perdamaian dalam arti sempit, mencakup kegiatan khusus di sektor pendidikan untuk meningkatkan pemahaman, ketrampilan, dan perbaikan sistem pendidikan untuk membangun kapasitas perdamaian (capacities for peace). Pengembangan kurikulum pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah atau universitas, misalnya, masuk dalam pengertian ini.

Keduanya beda dalam tataran metodologis, tetapi tidak selalu beda dalam tataran perspektif. Sebuah lembaga perdamaian, misalnya, bisa hanya melakukan salah satu, atau keduanya, tergantung pada pilihan metodologi dan sasaran yang dituju.

Tulisan dalam edisi Pela kali ini menyajikan keduanya. Pembaca akan menemukan berbagai variasi yang kaya dari keduanya yang bisa digunakan untuk bahan pelajaran bagi perbaikan praktek pembangunan perdamaian (peace building).

Persoalan penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan pendidikan untuk perdamaian adalah masalah pilihan pendekatan yang digunakan. Pendidikan untuk perdamaian haruslah menyentuh aspek mendasar ketidakadilan struktural, sebagai sumber utama konflik kekerasan. Bagaimana pendidikan untuk perdamaian menjadi sarana pembebasan (liberasi), seperti ditekankan oleh Freirean, penting dijadikan titik tolak acuan. Elise Boulding menyebut pendidikan ala ini sebagai strategi mengubah sistem kekerasan di masyarakat (uncivilzed society) dengan bertitik tolak dari perubahan kesadaran budaya damai warga masyarakat sipil (civic culture).

Bagaimana hal itu dijalankan, sangat tergantung pada kapasitas dan peran masing-masing. Kalangan pemerintah barangkali lebih suka mengambil jalur pendidikan formal (track 1), sementara kalangan sipil lebih suka jalur non-formal (track 2). Namun untuk lebih efektif, pendekatan banyak jalur (multi-track) sangat diperlukan.

Hingga kini, tantangan terberat untuk terwujudnya perdamaian di masyarakat dari sisi budaya, terutama terletak pada belum adanya ruang sipil (civil society sphere) yang sehat untuk tumbuhnya budaya damai tanpa kekerasan (civic culture). Tumbuhnya ruang hidup sipil yang sehat terus menerus digerogoti oleh, meminjam istilah Habermas, ‘distorsi komunikasi sistemik’ (systemic communication distortions), baik disebabkan oleh intervensi negara yang berlebihan maupun fragmentasi sipil yang akut.

Demikian itu membutuhkan peran lembaga penengah (mediating institutions) yang mampu memfasilitasi dan memediasi keduanya; pemerintah dan masyarakat sipil. Komunitas akademisi disini menjadi penting untuk berperan menjembatani keduanya, baik melalui pendidikan perdamaian, seperti pengembangan kurikulum, metode pengajaran, pelatihan, dsb., maupun melalui aktivitas pendidikan untuk perdamaian di berbagai ranah kehidupan, baik ranah kehidupan sipil maupun politik formal.

Download
Bahasa Indonesia (pdf): Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 (Indonesia) Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 [Indonesia]
English (pdf): Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 (English) Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 [English]

Recent Posts

  • Buku : Dua Menyemai Damai : Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi
  • Buku : Pandemi, Konflik, Transformasi : Tantangan Demokrasi dan Inklusi Sosial
  • Buku : Agensi Perempuan Dalam Lingkaran Ekstremisme Kekerasan : Narasi dari Poso, Bima, Lamongan dan Deli Serdang
  • Serial Webinar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), UGM
  • [PEACE GOERS FESTIVAL-online] “Damai Itu Keren”
Universitas Gadjah Mada

PUSAT STUDI KEAMANAN DAN PERDAMAIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Sekip K-9 Yogyakarta 55281
email: ps.kp@ugm.ac.id
Telp./Fax : (0274) 520733

© 2017 CSPS Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju