Konflik antara gajah dan manusia di lampung akhirnya merembet menjadi konflik antara manusia dan manusia, ketika warga yang desanya kemasukan gajah dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) mengusir gajah ke desa lain. Lambatnya pemerintah memecahkan persoalan menyebabkan sebagian warga mulai berpikir akan mengubah peta konflik, dari gajah versus masyarakat menjadi gajah versus pemerintah. Cara yang mungkin akan dilakukan adalah dengan menggiring gajah liar ke pusat pemerintahan, yaitu kabupaten agar pemerintah tahu rasanya diserang gajah liar.
Sampai saat ini warga yang desanya kedatangan gajah masih bertahan tidak mernbunuh binatang tersebut, mengikuti saran pemerintah dan atas kesadaran sendiri dalam melindungi hewan langka ini, meskipun tanaman karet, sawit, ketela, dan tanaman milik warga lainnya dirusak gajah. Bukannya tidak mungkin penduduk yang putus asa akan membunuhi gajah sebagai cara menyelesaikan masalah. Sebelum tragedi ini terjadi, marilah kita petakan masalah dengan cara sederhana dengan mengetahui siapa yang berkonflik, bagaimana karakternya, dan bagaimana pemecahannya.
Pelaku konflik pertama adatah gajah. Meski sudah mendapatkan tempat tinggal yang cukup luas dengan pakan rumput yang berlimpah di TNWK, hewan cerdas ini punya bawaan, selalu mencari makanan yang lebih enak dibanding rumput. Mereka cenderung keluar TNWK mencari ketela, pelepah muda sawit, bagian pohon karet muda, dan tanaman lain milik warga. Gajah tidak mau makan ketela racun.
Pelaku konflik kedua adalah penduduk sekitar TNWK. Lahan TNWK yang luas dan kaya rumput memancing warga memelihara kerbau yang dilepasliarkan. Ada warga yang punya sedikit kerbau, ada pula yang banyak. Masuknya kerbau ke TNWK menyebabkan ketersediaan pakan gajah terganggu. Petugas juga menuduh kerbau menularkan penyakit ke gajah. Pemerintah akhirnya melarang penduduk sekitar TNWK memelihara kerbau. Pengawasan oleh polisi hutan diperketat. pelarangan ini mengakibatkan menurunnya kesejahteraan penduduk. Harap diketahui, satu keluarga yang mempunyai lima ekor kerbau pasti tercukupi biaya pendidikan anak-anaknya, juga biaya berhaji ke Tanah Suci. Konflik antara warga dan polisi hutan TNWK pun terjadi. Ada perlawanan dari penduduk ketika mereka dilarang memelihara kerbau. Sempat beredar isu, petugas melepas harimau agar kerbau tak masuk lahan taman nasional. Seandainya isu itu tidak benar, isu ini lebih memanaskan situasi.
Provinsi Lampung tetah kehilangan 9 kantong populasi gajah dari 12 kantong di Lampung yang ditemukan pada 1980 (Hedges et al. 2005). Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan penggunaan lahan untuk usaha produktif, diantaranya perkebunan, menjadikan petugas lebih ketat menjaga agar kantong yang tersisa tidak hilang bersama punahnya gajah di wilayah ini.
Masalah berikutnya muncul ketika kerbau sudah dilarang dipelihara werga, ternyata intensitas gajah keluar TNWK dan masuk desa justru meningkat. Menurut warga yang kami wawancarai, berkurangnya aktivitas manusia di TNWK menjadikan gajah lebih bebas masuk ke lahan penduduk. Rombongan gajah yang kadang-kadang berjumlah 60-an ekor menyebabkan kerugian hingga puluhan juta rupiah sekali serang.
Bagaimana cara agar gajah aman dan manusia sejahtera? Kisah klasik ekonomi tragedy of common barangkali bisa dijadikan sebagai pelajaran untuk mengatur persoalan ini. Kisah Eropa Abad Pertengahan itu menceritakan konflik antarpemilik domba yang menggunakan lahan milik bersama. Ketika semua orang yang memelihara domba semakin banyak, lahan milik bersama tidak mampu memenuhi kebutuhan rumput. Rumput semakin habis, bahkan tidak tumbuh. Semua orang merugi. Solusi yang disepakati adalah dengan membagi rata lahan. Setiap pemilik domba mendapat bagian sama. Mereka dikenai peraturan, hanya boleh memelihara domba di lahan sendiri. Persoalan selesai. Pun semua warga tahu batas maksimal lahan sendiri untuk jumlah domba yang bisa dipelihara.
Poin penting konsep ekonomi ini adalah, masalah bisa dipecahkan bila ada pengakuan akan milik pribadi. Meskipun cerita ini menyederhanakan, perlindungan binatang di Eropa-Amerika banyak terinspirasi kisah ini.
Sebetulnya, secara kreatif, penduduk Indonesia adalah pecinta burung, mamalia, reptil, ikan, primata langka, dan hewan liar lain. Mereka melakukan penangkaran bahkan ketika arahan pemerintah tidak ada. Masalahnya adalah apakah tidak ada “hak” hewan liar tetap hidup bebas d alam? SoaI ini penting kita pikirkan ketika kita akan memutus nasib hewan liar menjadi hewan domestik dengan status hak milik (pribadi).
Dalam kasus gajah Lampung, sebetulnya dapat ditemukan win-win solution jika diterapkan prinsip-prinsip ekonomi, terutama menyangkut soal pentingnya menerapkan batas maksimal penggunaan lahan, baik untuk manusia maupun gajah sekaligus. Dari situ didapat solusi gajah salamat tetap hidup di alam liar, sementara manusia yang hidup di sekitarnya lebih sejahtera. Langkah yang kami usulkan adalah sebagai berikut.
Pertama, menjaga agar gajah tidak keluar dari TNWK dengan cara memagari lahan TNWK dengan kegiatan manusia. Bagaimanapun, yang paling ditakuti gajah adalah manusia. Tapi, bagaimana agar manusia yang memagari gajah lebih sejahtera? Mereka harus diperbolehkan memelihara kerbau lagi. Dengan catatan kerbau tidak masuk TNWK. Cerita tragedy of common bisa diterapkan untuk kasus kerbau, di mana hewan ini hanya boleh dipelihara di lahan milik sendiri (bagi penduduk sekitar hutan TNWK) atau hanya boleh diliarkan di lahan tertentu yang mendapat izin atau boleh dihuni manusia. Jadi, tidak ada iagi kerbau yang dibebasliarkan.
Mungkin akan muncul masalah menyangkut keterpenuhan pakan kerbau jika lahannya terbatas. Pemecahannya, dikenalkan saja teknik pemeliharaan kerbau sebagaimana pemeliharaan sapi dan domba jika dikandangkan. Intensifikasi pakan dengan penanaman rumput unggul, dan kebutuhan lain, termasuk pemasaran, harus diajarkan kepada warga pemilik kerbau. Jumlah gajah di alam liar taman nasional juga harus dipantau. Jika jumlahnya dinilai melebihi kapasitas TNWK dan menyebabkan kurangnya pakan, dilakukanlah pengurangan atau pemanenan gajah untui dipindah ke tempat lain. Jadi, di alam liar gajah tetap liar. Tapi, jumlahnya perlu dibatasi sesuai dengan kapasitas tempat tinggal.
Tentu, selain rencana yang baik, dibutuhkan petugas dan pejabat yang cakap yang mampu menjadi penengah jika terjadi konflik. Orientasi utama perencanaan penyelesaian konflik gajah versus manusia ini adalah lestarinya gajah sebagai satwa liar, dan sejahteranya manusia yang tinggal di sekeliling gajah. Sekali lagi, harus dengan pemahaman ada batas-batas nilai ekonomis yang tidak bisa dianggap tidak ada di lahan bersama yang ditinggali gajah ataupun manusia.
Moch. Faried Cahyono, Pengajar Ekonomika Publik Sekolah Vokasi Diploma Ekonomi UGM, peneliti ekonomi pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM.
Hakim Daldiri, peneliti sosial ekonomi Bright Indonesia, tinggal di Lampung.
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 5 Maret 2013