Rabu, 04 Maret 2009 | |||
Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang defisit, ungkap Zuly Qodir dalam opini yang dimuat Jawa Pos 1 Maret 2009. Demokrasi yang minus etika dan minus substansi sekalipun berjalan lancar dalam prosesnya. Kepentingan rakyat sering “tenggelam dalam kepentingan elit”. Seperti pilkada sebagai mekanisme demokrasi hanyalah untuk mengisi kekosongan kepala daerah, bukan untuk kepentingan rakyat. Selain itu adanya partai-partai politik hanyalah partai yang instan menjadi besar. Mereka tidak terbukti mampu memberikan banyak dalam hal kepastian penegakan hukum, perbaikan sistem pemerintahan, dan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat. Sehingga mereka cenderung membuat kebijakan negara yang buruk. Buruknya demokrasi di Indonesia juga terjadi karena perpecahan partai yang sangat sering, termasuk pada partai-partai besar pemenang pemilu seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKB, PAN, dan PPP. Partai-partai besar pemenang pemilu itu lebih banyak disibukkan oleh urusan internal yang menyita energi, sehingga melupakan kinerja dalam pemerintahan sebagai partai pemenang pemilu. Beban partai-partai besar tersedot untuk urusan konflik internal, di samping memperbaiki ”citra buruk” di mata masyarakat selama rezimnya berkuasa.
|