Rabu, 10 November 2010 | |||
Dalam tulisan ini Frans de Djalong memperlihatkan dimensi-dimensi penting yang membentuk ruang lingkup konflik terkait praktik pertambangan dan resistensi masyarakat terhadap eksploitasi SDA. Tulisan singkat ini merupakan elaborasi lanjut materi yang disampaikan dalam Pelatihan Dasar Konflik dan Penanganan Konflik Industri Ekstraktif (Yogyakarta, 25-28 Oktober 2010). Dalam satu dekade terakhir, konflik pertambangan tak dapat dipisahkan dari dinamika demokratisasi dan penguatan isu kesejahteraan. Demokratisasi membentuk kesadaran baru di kalangan masyarakat bahwa eksploitasi sumber daya alam di daerah mereka perlu dikontrol dan dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat lingkar tambang. Meski demikian, konflik-konflik yang muncul sebagian besar memperlihatkan kontestasi antara legitimasi dan legalitas, atau kontestasi dalam dua paradigma yang saling bertabrakan: paradigma hukum dan paradigma politik. Tulisan ini juga berargumentasi bahwa kajian konflik dan kelola konflik pertambangan patut mempertimbangan dua skenario atau formula pendekatan, yakni pertama, pendekatan kajian konflik terkait pembuatan kebijakan (process and input side) dan kedua, pendekatan kajian konflik terkait implikasi kebijakan (process and output side).
|