Senin, 02 Juni 2008 | |||
“Bisakah sekolah menjadi tempat siswa mempelajari bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara damai? Apakah praktik dan tradisi bertengkar, tawuran, penerapan aturan disiplin yang ketat, serta bullying dapat dihilangkan dari lingkungan pendidikan anak-anak Indonesia?” Adalah pertanyaan yang mengawali dan akan dijawab Rizal Panggabeandalam tulisannya yang dipublikasikan Media Indonesia tanggal 2 Juni 2008. Penulis menyatakan bahwa lingkungan ‘dalam’ dan ‘luar pagar’ sekolah mempengaruhi perilaku siswa. Dan sekolah tempat konflik dalam berbagai bentuk dan melibatkan berbagai pihak. Supaya konflik tidak mengganggu siswa secara fisik maupun psikologis, maka konflik tersebut harus dikelola dengan tepat dan baik. Manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS) adalah satu pendekatan yang perlu dilakukan di sekolah. MKBS digunakan banyak negara, ada beberapa sekolah di Indonesia yang menerapkannya. MKBS berhubungan langsung dengan unsur pendidikan anak, yaitu keterampilan sosial (social skill) dan keterampilan hidup (life skill). MKBS mengajarkan penghargaan kemajemukan dan perbedaaan di sekolah. Agar sekolah bisa menerapkan MKBS, beberapa hal perlu dipertimbangkan siswa, guru, dan kepala sekolah. Salah satu di antaranya adalah bagaimana merancang proses belajar dan mengajar yang tidak terpaku pada keterampilan akademik saja, dalam rangka mengejar target materi ajar. Komponen penting kurikulum pendidikan anak yaitu keterampilan sosial dan keterampilan hidup, perlu menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Karena hal ini memberikan siswa kemampuan menghadapi masalah dan mengelola konflik. Selanjutnya Panggabean mengulas cara-cara untuk memberikannya.[sy]
|