CSPS Monographs on Social Cohesion in North Maluku Paper No 3 – Desember 2012
Penulis
Ucu Martanto
Bahasa
Indonesia
Salah satu fenomena yang muncul, dan berangsur-angsur menjadi tren, pasca jatuhnya pemerintahan Suharto tahun 1998 adalah pemekaran daerah. Terhitung semenjak tahun 1999 hingga Juni 2009, terdapat penambahan 205 Daerah Otonom Baru (DOB) yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota (Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri, 2010). Jumlah ini diperkirakan mengalami penambahan mengingat tingginya hasrat daerah untuk memisahkan diri dari pemerintah daerah induk. Kebijakan moratorium pemekaran dalam rangka mengevaluasi keberadaan DOB tidak menyurutkan ambisi daerah untuk mengajukan proposal pemekaran.
Sengketa wilayah merupakan fenomena yang sama gandrungnya dengan pemekaran daerah. Belum tuntasnya proses delimitasi wilayah pemerintah daerah di Indonesia menyebabkan batas wilayah antar-pemerintah daerah tumpang-tindih. Dalam kondisi ketidakpastian batas-batas wilayah, DOB dilahirkan. Akibatnya mudah diterka, hampir setiap kasus pemekaran kabupaten/kota maupun provinsi – terutama di luar Pulau Jawa – selalu diikuti dengan sengketa batas wilayah. Tidak sedikit dari sengketa ini berakhir dengan konflik kekerasan yang menyimpang dari tujuan pemekaran daerah, seperti yang terkandung dalam UU No. 32 tahun 2004, yaitu: meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan masyarakat, dan memperkokoh NKRI.
Mengapa sengketa batas wilayah antar-pemerintah daerah seringkali ditempuh dengan jalan kekerasan antar-penduduk? Seseorang berperang mempertahankan kedaulatan teritorial NKRI dianggap sebagai pejuang nasionalisme, sementara bagi mereka yang rela mati untuk memperjuangkan batas-batas wilayah pemerintah daerahnya, apakah ini yang disebut ‘provinsisme’ atau ‘kabupatenisme’? Apa yang mereka pertaruhkan ketika memperjuangkan batas-batas wilayah kabupaten/kota atau provinsi? Fenomena ini menyiratkan pertanyaan lebih lanjut tentang keindonesiaan, tentang kewilayahan, tentang pemerintahan, tentang kewarganegaraan. Saya menduga pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan tuntas dijelaskan melalui pisau analisa yang multiperspektif. Untuk melengkapi perspektif yang telah banyak digunakan (seperti: kelembagaan/tata kelola pemerintahan, ekonomi politik, politik identitas, gerakan sosial, dan konflik), tulisan ini mengangkat perspektif ruang dalam memahami pemekaran daerah dan konflik kekerasan batas wilayah.
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website.
--
[ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju