Minggu, 30 Mei 2004 | |||
Arifah Rahmawati dan Faried Cahyono menganalisis mengapa penyelesaian masalah di daerah pascakonflik tidak juga tuntas. Seperti kejadian 25 April 2004 lalu, kondisi kota Ambon yang dalam beberapa tahun telah ‘aman dan terkendali’ tiba-tiba rusuh dan memakan puluhan korban jiwa. Menurut kedua penulis, hal ini terjadi karena kesalahan penanganan keamanan sejak dari cara berpikir hingga pilihan kebijakan! Aparat keamanan biasanya mengatakan situasi “aman dan terkendali”. Artinya, jika keadaan diduga akan meledak polisi dan tentara siap berjaga-jaga. Sementara sebagian pejabat pemerintahan sipil mengatakan, daerahnya aman karena tidak ada lagi kerusuhan atau perang antar warga dengan korban mati. Jika masih ada bom sesekali, dianggap biasa. Citra aman seperti itu lalu jadi “kesepakatan” umum. Persoalan keamanan sudah menjadi monopoli aparat pemerintah, militer, dan polisi. Dan orang sipil berpikir keamanan bukan tanggungjawabnya. Ini jelas salah, karena semua elemen ini harus bekerja sama soal keamanan. Walaupun penanggungjwabnya, menurut undang-undang, adalah polisi. Akhirnya masyarakat tidak memiliki data dan indikator soal keamanan, juga tidak punya sumber daya dan keahlian. Tentu saja data dan keahlian ini tidak sama dengan yang dikelola oleh aparat. Karena itu sebuah masalah kecil dimasyarakat bisa menyebabkan kerusuhan yang tidak diduga, dan otomatis tak terhindarkan. Kedua penulis kemudian menunjukkan dan menganalisa contoh-contoh penanganan konflik dan pascakonflik yang dianggap berhasil.[sy]
|