Edisi | Vol. 2 No. 1 – September 2004 Yang Terlupakan Dari Ambon |
Kontributor dan Editor |
Lambang Trijono, Samsu Rizal Panggabean, M. Najib Azca, Arifah Rahmawati, Tri Susdinarjanti, Diah Kusumaningrum, Dody Wibowo, Nurul Aini, Moch. Faried Cahyono, Kristina Sintia Dewi, Ni Komang Widiani, Frans de Djalong, Tetty Naiborhu, Novri Susan, Arie Sudjito |
Bahasa | Indonesia dan Inggris |
Ambon kembali bergolak. Ini cukup mengagetkan kita. Publik selama ini berfikir Ambon aman-aman saja. Warga ambon sendiri selama satu tahun terakhir sedang giat membangun perdamaian menyongsong masa depan lebih baik, setelah lama terpuruk dalam konflik.Tapi orang lupa bahwa potensi konflik masih tersimpan di dasar samodra masyarakat pasca-konflik Ambon. Masyarakat Ambon pasca konflik masih sangat rentan (fragile). Konflik baru-baru ini setidaknya didasari oleh setting perubahan masyarakat pasca konflik Ambon dalam tiga ranah.
Pertama, terjadi pergeseran politik yang menguntungkan salah satu komunitas (Kristen) dan mengecewakan komunitas lain (Muslim). Jabatan politik di era pasca konflik, khususnya di Ambon, diisi oleh tokoh-tokoh dari kalangan Kristen. Demikian itu, meski hasil dari proses pemilu dan pemilihan kepala daerah yang sah, bagi sebagian elit yang merasa tersingkir (Muslim), konflik kemarin dianggap menguntungkan komunitas Kristen. Persoalan demikian jelas menganggu efektivitas pemerintah dalam kebijakan pembangunan dan perdamaian. Kedua, sesudah perjanjian Malino, komunitas Ambon giat membangun dengan harapan perdamaian sangat tinggi. Namun, dalam praktek di lapangan program-program pembangunan dan perdamaian kurang menyentuh masalah pasca konflik seperti kecemburuan social, segregasi Muslim-Kristen, pengungsi, pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya. Tidak terpecahkannya masalah ini menimbulkan banyak kekecewaan yang menjadi potensi baru pasca konflik Ambon. Ketiga, konflik Ambon terkait dengan banyak faktor, baik bersifat akar maupun cabang-cabang masalah yang muncul pada pasca konflik. Masalah-masalah seperti krisis pemerintahan, keamanan, kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan kelas social-ekonomi. Masalah-masalah ini belum tersentuh oleh berbagai kebijakan dan respon pembangunan dan perdamaian selama ini. Akar konflik masih seperti api dalam sekam, yang setiap waktu bisa meledak. Diatas berbagai masalah ini, pertikaian antara kelompok FKM dan pendukung NKRI baru-baru ini hanyalah sebagai pemicu (trigger) saja. Ibaratnya seperti gelombang permukaan yang menghujam ke bawah arus pusaran dasar samudra. Hal itu ditambah dengan faktor mobilisasi konflik oleh pihak ketiga bisa mengoncang gelombang konflik Ambon menjadi konflik besar seperti terjadi sekarang ini. Jadi konflik ini tidak perlu dibesar-besarkan, karena bukan masalah sejati konflik Ambon. Tapi, perlu diingat bahwa ini adalah persoalan kota Ambon, bukan persoalan Maluku secara keseluruhan. Daerah-daerah kabupaten di luar kota Ambon seperti Tual, Masohi, dan Buru, relatif aman berjalan seperti biasa. Tidak bisa digeneralisir. Meski potensi konflik ada, tetapi mereka relatif masih berharap banyak dengan perbaikan-perbaikan yang terjadi selama ini. Di Tual misalnya, pemerintahannya mendapat legitimasi yang kuat dari warganya karena adat dan tokohnya menjadi sumber semangat, orientasi, dan roh, dalam menjalankan roda pemerintahan. Kapasitas lokal mereka miliki untuk mengatasi konflik-konflik sehari-hari yang muncul sehingga tidak menjadi kekerasan. Hal itu juga berlangsung di Buru dan Masohi, meski dengan derajad berbeda. Kapan Ambon seperti Tual dan daerah lainnya? Kapan daerah lain mempengaruhi Ambon, bukan sebaliknya? Seperti dalam semangat revolusi “desa-desa mengepung kota” atau “daerah-daerah mengepung pusat“, dengan revolusi damai tentu saja. Untuk itu, dukungan untuk memperkuat basis kapasitas lokal untuk perdamaian sangat diperlukan. |
Download |
Bahasa Indonesia (pdf): Pela Newsletter Vol. 2 No. 1 [Indonesia] English (pdf): Pela Newsletter Vol. 2 No. 1 [English] |