Selasa, 21 Juli 2009 | |||
Moch. Faried Cahyono, menulis soal Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia (Defence Reform in Indonesia), di Brunei Times, 20 Juli 2009. Menurutnya, meskipun dari sisi politik dan hukum reformasi sektor keamanan bisa dikatakan berhasil menggeser tentara tidak lagi bisa aktif di kehidupan politik, sebagaimana disyaratkan sebuah pemerintahan modern, tetapi reformasi tentara sebetulnya belum lagi berhasil, karena mengabaikan pendekatan ekonomi, dimana tentara seharusnya juga dipandang sebagai pelaku ekonomi. Karena pendekatan ekonomi tidak digunakan dalam reformasi sector keamanan, maka meskipun tentara tidak boleh lagi aktif di politik, dampak kekerasan atas kebijakan itu, masih terus terjadi hingga saat ini. Diantaranya, kekerasan terjadi terus menerus antara anggota polisi (yang mendapat mandat menjaga keamanan) dan tentara (yang semula memegang mandate itu selain mandate pertahanan). Kekerasan juga muncul dibebereapa daerah, diantaranya di Jayapura beberapa waktu lalu, akibat tidak puasnya anggota kepada komandannya. Juga masalah lain menyangkut rendahnya penganggaran alutista. Dari sisi pendekatan ekonomi, penyelesaian soal ini sebetulnya sederhana. Tentara akan sukarela dipinggirkan dari ranah politik dan bersedia dibarakkan dan hanya mengurusi soal pertahanan Negara, apabila dan hanya bila pembarakan tentara itu disertai pula dengan insentip (kesejahtaraan) yang sama atau lebih baik dibanding yang sebelumnya didapat tentara ketika aktif di politik. Harus dipahami, tentara adalah pelaku ekonomi, Person prajurit membutuhkan pekerjaan untuk mensejahterakan diri dan keluarganya. Manakala soal ini tidak diperhatikan, maka perlawanan tentara yang kehilangan akses politik (dan kesejahteraannya) akan tetap terjadi.(mfc)
|