Nama Kegiatan | Negara | |
Pemetaan dan Valuasi Dampak Negatif Transnational Organized Crime (TOC) bagi Indonesia: Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya.” | Indonesia | |
Cakupan Lokasi Survey | Profil Staf yang Ditugaskan | |
Indonesia dalam dimensi politik, ekonomi, maupun sosial budaya. | Peneliti PSKP | |
Nama Lembaga Donor | Jumlah Staf yang Terlibat | |
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri | 5 orang | |
Alamat | Lama Kegiatan | |
Sekretariat BPPK Kementerian Luar Negeri (Gedung eks BP7) Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat, 10110 | 6 bulan | |
Mulai Kegiatan | Kegiatan Berakhir | |
01 Maret 2014 | 01 September 2014 | |
Nama Staf Senior yang Terlibat | ||
Koordinator Peneliti: | Tim Peneliti: | |
Prof. Dr. Sigit Riyanto, LL.M | Arifah Rahmawati, MA | |
Anggota Peneliti: | Ucu Martanto, MA | |
Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, MA | Frans Djalong, MA | |
Titik Firawati, MA | ||
Deskripsi Penelitian | ||
Transnational Organized Crime merupakan kejahatan yang khas, canggih dan berskala luas. Tindakan Kejahatan transnasional dapat mencakup perdagangan obat-obat terlarang (drug trafficking), penyelundupan orang (people smuggling) , perdaganan manusia (human trafficking), pencucian uang hasil kejahatan (money-laundering) , perdagangan senjata (trafficking in firearms), perdagangan barang-barang palsu (counterfeit goods ), perdagangan satwa langka dan cagar budaya (wildlife and cultural property), dan bahkan beberapa aspek kejahatan dunia maya (cybercrime) .
Kejahatan perdagangan dan penyelundupan orang sejatinya merupakan salah satu fenomena yang terjadi hampir sepanjang sejarah peradaban manusia. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri apabila kejahatan tersebut akhir-akhir ini cenderung mengalami peningkatan baik dari kuantitasnya maupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pemerintah Indonesia telah memiliki perangkat legal-formal yang komprehensif untuk menindak kejahatan perdagangan dan penyelundupan manusia. Pada level global, komunitas internasional juga sudah menyepakati definisi tindak perdagangan dan penyelundupan manusia melalui Konvensi PBB mengenai Kejahatan Transnasional yang Terorganisir. Namun demikian, respon pemerintah Indonesia masih dirasa kurang komprehensif karena pendekatan yang digunakan cenderung memandang perdagangan dan penyelundupan manusia sebagai masalah migrasi dan keamanan semata. Akibatnya, upaya pemberantasan masih terbatas pada aspek legal-formal dan luput melihat beberapa faktor penting lainnya yang ikut mempengaruhi, yaitu: sosial, ekonomi, dan politik. Faktor-faktor tersebut menjadi mendorong dan penarik bagi kejahatan penyelundupan dan perdaganagan manusia.
Produk barang palsu sudah membanjiri pasar di Indonesia. Produk-produk yang ada dipasaran didapat dari kegiatan impor maupun diproduksi di dalam negeri. Dalam pasar internasional terdapat empat katagori besar produk-produk yang berharga dan rentan terhadap praktek pembajakan, yaitu: a) produk yang mudah terlihat, diproduksi dalam jumlah besar, dibuat dengan teknologi rendah tetapi memiliki merek dagangnya sudah dikenal oleh banyak orang; b) produk dengan harga tinggi, menggunakan teknologi tinggi; c) produk ekslusif, produk prestise; dan d) produk yang dibuat dari proses riset dan pengembangan, produk dengan menggunakan teknologi tinggi. Sekurang-kurangnya ada empat faktor pendorong/penarik (push/pull factor) pemalsuan barang. Pertama, globalisasi mendorong aktivitas perdagangan lintas negara. Kedua, lemahnya regulasi yang tersedia dan lemahnya penegakan regulasi yang mengatur hak cipta dan perdagangan di negara produsen barang imitasi. Ketiga, pilihan konsumen atas barang tiruan masih besar. Keempat, sungguhpun pemalsuan barang adalah tindakan kriminal, namun tidak dapat dipungkiri kalau aktivitas tersebut juga mendorong kesempatan ekonomi dan aktivitas perdagangan.
Counter-terrorism di Indonesia secara intensif digalakkan sejak terjadinya Bom Bali I tahun 2002 sampai munculnya efek gerakan ISIS tahun 2014. Berbasis UU No 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dibentuk Densus 88 tahun 2004 dan BNPT tahun 2010 untuk tujuan pemberantasan dan pencegahan. Tersmasuk diselenggarakannya rangkaian program kerjasama counter-terrorisme secara bilateral dan multilateral. Namun, aksi teror dan potensi ancaman tidak berkurang. Hal ini terjadi karena pemerintah belum menangani akar masalah geopolitik terorisme serta minimnya intervensi diplomatik pada level regional dan internasional. Sejak 2002 sampai 2014, Indonesia menanggung eksternalitas dari dinamika politik ekstrim di Timur Tengah dan Asia Tengah, sebagaimana ditunjukkan oleh pengaruh-jaringan Al Qaida dan ISIS di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang tidak terbebas dari aktifikas “Perdagangan Gelap Narkoba”. Narkoba hanya membawa dampak destruktif terhadap diri korban (menghamburkan uang, terlibat aksi kriminal demi narkoba, seks bebas, tidak peka terhadap lingkungan sekitar, menderita lahir dan batin), keluarga (merusak ikatan kekeluargaan), masyarakat (mendorong masyarakat untuk korup), dan negara (membebani keuangan negara untuk proses hukum, layanan kesehatan, dan rehabilitasi). Faktor-faktor penyebab munculnya perdagangan gelap narkoba di Indonesia, yaitu: (1) ada konsumen di Indonesia yang membutuhkannya, (2) Indonesia dengan jumlah penduduk sangat besar menjadi potensi pasar yang menguntungkan bagi pengedar narkoba, (3) perdagangan narkoba merupakan lahan bisnis yang terlalu menggiurkan untuk dikesampingkan, (4) metode distribusi narkoba semakin canggih, dan (5) sistem sosial yang cacat serta sistem hukum yang korup. Langkah pemerintah Indonesia untuk menangani persoalan narkoba adalah ratifikasi perjanjian internasional yang melarang perdagangan narkoba, kampanye anti-narkoba, penegakan hukum, dan layanan kesehatan dan rehabilitasi bagi korban. Namun, upaya-upaya ini belum efektif karena faktor-faktor penghambat seperti tidak ada evaluasi terhadap kampanye anti-narkoba yang dilakukan pemerintah, sistem hukum yang korup, dan dana layanan kesehatan dan rehabilitasi bagi pengguna minim. |