Editor | |
ISBN | 978-602-386-343-3 |
Bahasa | Indonesia |
Halaman | xxxii + 252 |
Tahun | 2020 |
Ukuran | 15 x 23 cm |
Harga | — |
Ebook | _ |
Buku
Editor | Luqman-nul Hakim, Frans A Djalong dan Mohtar Mas’oed |
ISBN | 978-623-359-021-1 |
Bahasa | Indonesia |
Halaman | xvii+280 |
Tahun | 2021 |
Ukuran | 15,5 x 23 cm |
Harga | — |
Ebook | — |
Pandemi COVID-19 membongkar dua fenomena paradoksal. Disatu sisi, tata kelola krisis kesehatan tidak berjalan dengan di dalam negeri maupun maupun antarnegara yang membuat epidemi terus berlangsung dan tidak pasti kapan berakhir. Sementara pada sisi yang lain, konflik lama dan konflik baru mengemuka selama pandemi berlangsung dengan kombinasi isu, aktor, dan arena dalam dinamika ekonomi-politik, geopolitik, dan biopolitik.
Buku ini berusaha menjawab pertanyaan penting mengenai masa depan perdamaian dari inklusi konteks pandemi dan pascapandemi. Melalui sejumlah cara pandang dan pengalaman, buku ini berlaku sebagai kritik terhadap kecenderungan teknokrasi dan antidemokrasi dalam tata kelola pandemi yang berbentuk dalam wacana kedaruratan nasional dan global. Sehimpun tulisan dalam buku ini dimaksudkan untuk meninjau ulang masalah dan tantangan demokrasi, pembangunan, dan keamanan dalam konteks sosial dan struktur kekuasaan yang bertransformasi melalui wacana pandemi.
Editor | M. Najib Azca & Rani Dwi Putri |
ISBN | 978-602-6205-45-2 |
Bahasa | Indonesia |
Halaman | xii + 240 |
Tahun | 2021 |
Ukuran | 15,5 x 23 cm |
Harga | — |
Ebook | — |
Buku ini merupakan hasil studi ihwal agensi perempuan dalam lingkaran ekstremisme kekerasan di empat wilayah, yaitu Poso, Bima, Lamongan, dan Deli Serdang. Studi Komparatif ini berangkat dari fenomena baru ihwal maraknya keterlibatan perempuan dalam aksi dan gerakan ekstremisme kekerasan. Berbeda dengan pendekatan dominan yang menempatkan perempuan semata sebagai obyek dan korban, studi ini mencoba mengekplorasi dua sisi agensi perempuan dalam jejaring ekstremisme kekerasan. Pertama, peran perempuan dalam proses kontra-ektremisme melalui peran-perannya sebagai ibu, istri, dan warga. Kedua, peran perempuan dalam aksi dan gerakan yang bercorak ekstremisme kekerasan dan terorisme. Studi komparatif di empat wilayah menunjukkan dinamika lokal yang berbeda. Poso dan Bima merepresentasikan wilayah dengan geliat gerakan ekstremisme yang cukup kuat. SEdangkan Lamongan dan Deli Serdang merupakan wilayah dimana ikhtiar kontra ekstremisme kekerasan bertumbuh baik digerakkan oleh aktpr-aktor lokal
Editors | Lambang Trijono and Frans de Djalong | |
ISBN | 979-98203-0-8 | |
Language | English | |
Pages | xii + 291 | |
Year | 2004 | |
Dimension | 145 x 210 mm | |
Price | Rp. 45.000,00 (shipping not included) | |
Ebook | free download (see bellow) |
Ethnic and religious conflict has been as old as longing for peace. It proves to have been inhuman and disastrous in such a society where there is no a democratically-conducted consensus between actors or/and institutions.
The Making of Ethnic and Religious Conflict in Southeast Asia is an anthology of conflict phenomena, their context and dimensions, and appropriate resolutions hermeneutically shared in the light of multi-dimensional approaches. Suggested methods for handling the various typical conflicts are in fact as important as for understanding their state of becoming. So to speak, this book is of course a theoretical but also a practical contribution for the very participation in peace-building efforts as these writers have deliberately shown in a number of experiences.
Editor | Moch. Faried Cahyono dan Lambang Trijono | |
ISBN | 979-98203-2-4 | |
Bahasa | Indonesia | |
Halaman | iv + 138 | |
Tahun | 2004 | |
Ukuran | 105 x 170 mm | |
Harga | Rp. 15.000,00 (Stok Habis) | |
Ebook | free download (lihat di bawah) |
Pemilu di masa Orde Baru selalu identik dengan kekerasan. Begitu banyak kekerasan yang berasal dari luar tumpah ke pemilu (efek spillover). Tak heran, setiap menjelang dan selama pemilu begitu banyak pihak yang bersiap mengamankan. Sementara rakyat di banyak wilayah, harus siap menerima kemungkinan terjadinya kekerasan. Sepertinya bangsa ini, dengan pemilu, menghadapi bencana nasional lima tahunan.
Menjadi penting untuk melihat apakah tradisi kekerasan dalam pemilu sebagaimana masa Orde Baru, bisa diputus pada Pemilu 2004 dan sesudahnya. Sehingga, dalam pemilu rakyat mendapatkan tidak hanya penguasa, tetapi juga pemimpin yang mampu menjawab tantangan jamannya.
Editor | Lambang Trijono, M. Najib Azca, Tri Susdinajanti, Moch. Faried Cahyono, dan Zuly Qodir | |
ISBN | 979-98203-3-2 | |
Bahasa | Indonesia | |
Halaman | vi + 386 | |
Tahun | 2004 | |
Ukuran | 145 x 210 mm | |
Harga | — (stok habis) | |
Ebook | free download (lihat di bawah) |
Ditakdirkan sebagai sebuah negara besar yang plural secara etnik, bahasa, dan agama, serta memiliki rentang geografis yang luas menjulur dari Aceh hingga Papua, Indonesia bagai menerima ‘kutukan’ yang menetap: menjadi sebuah bangsa yang selalu dirundung potensi pertikaian, kekerasan, dan perpecahan. Fase transisi menuju demokrasi yang dijalani sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998 membuat babak baru konflik dimulai: konflik berdimensi komunal merebak, konflik bercorak ‘separatis’ pasang naik, fenomena gerakan ‘fundamentalis’ keagamaan naik daun, sementara berbagai dimensi baru dalam konflik sosial-politik kian mengemuka.
Editor | M. Najib Azca dan Moch. Faried Cahyono | |
ISBN | 979-98203-1-6 | |
Bahasa | Indonesia | |
Halaman | xiv + 149 | |
Tahun | 2004 | |
Ukuran | 105 x 170 mm | |
Harga | — (stok habis) | |
Ebook | free download (lihat di bawah) |
Untuk pertama kali dalam sejarah, rakyat Indonesia memilih secara langsung pemimpin politik tertingginya pada tanggal 20 September 2004. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pengusaha Muhammad Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu yang dicatat sebagai pemilu yang aman, jujur dan demokratis, serta mendapat penghargaan luas di panggung internasional.
Namun, ada kekhawatiran atas naiknya SBY jadi presiden. Ia bagaimanapun tumbuh dan dibesarkan dalam era kepemimpinan otoriter di mana militer merupakan kekuatan dominan yang memiliki privilese dan prerogatif besar. Ia juga jadi presiden tidak lepas dari dukungan meluas dari kekuatan militer, khususnya para purnawirawan. Namun, di luar kekhawatiran akan kembalinya militer dalam politik, gerakan masyarakat sipil sendiri memiliki begitu banyak kelemahan, khususnya soal agenda gerakan sipil yang berceceran, tidak menyatu. Para pemimpin sipil juga tidak jelas dan tidak tegas dalam reformasi sektor keamanan dalam sistem politik yang demokratis.
Editors | Helen Jenks Clarke, Arifah Rahmawati, Moch. Faried Cahyono, and Frans de Djalong |
|
ISBN | 979-98203-4-0 | |
Language | English | |
Pages | x + 187 | |
Years | 2006 | |
Dimension | 120 x 180 mm | |
Price | Rp. 25.000,00 (shipping not included) | |
Ebook | free download (see bellow) |
Is it true that violence is the only way we have at our disposal to fight against violence, cruelty, and injustice? Is it true to say that violence is an alternative to resolving these problems? The answer is NO. In fact, there are a number of nonviolent ways to resist violence and injustice in our daily life. The present book is a compilation of short, true stories of nonviolent resistance by the actors, ordinary people in conflict areas such as in West Kalimantan, Maluku, and Central Sulawesi.
Editor | Arifah Rahmawati, Moch. Faried Cahyono, dan Frans de Djalong | |
ISBN | 979-98203-5-9 | |
Bahasa | Indonesia | |
Halaman | x + 217 | |
Tahun | 2006 | |
Ukuran | 120 x 180 mm | |
Harga | – | |
Ebook | free download (lihat di bawah) |
Benarkah hanya kekerasan yang bisa digunakan untuk melawan kekerasan, kekejaman, dan ketidakadilan? Benarkah hanya kekerasan sebagai satu-satunya alternatif bagi penyelesaian masalah? Jawabnya TIDAK. Masih banyak cara-cara tanpa kekerasan yang bisa dipilih dan digunakan untuk menghadapi ketidakberuntungan serta penderitaan yang ada di sekitar kita. Buku yang sedang Anda baca ini merupakan kumpulan cerita yang menggambarkan berbagai upaya perlawanan tanpa kekerasan (non-violence resistance) yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang hidup di wilayah konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Sulawesi Tengah.
Editor | Lambang Trijono and Frans de Djalong | |
ISBN | — | |
Bahasa | Indonesia | |
Halaman | iv + 68 | |
Tahun | 2006 | |
Ukuran | 120 x 180 mm | |
Harga | Rp. 10.000,00 (shipping not included) | |
Ebook | free download (lihat di bawah) |
Kecenderungan konflik dan upaya perdamaian yang marak belakangan ini, hendak mengungkapkan suatu kenyataan bahwa kawasan rentan konflik di Indonesia sedang mengalami dinamika pasca konflik dengan memasuki tahap pemulihan dan rekonstruksi. Konflik Maluku, Maluku Utara, Poso, dan Kalimantan Barat sudah menunjukkan deskalasi yang signifikan, meski masih ditandai lambatnya upaya pemulihan perdamaian. Konflik Aceh, setelah kesepakatan Helsinski, memasuki tahap kesepakatan pasca konflik yang membutuhkan strategi pembangunan perdamaian yang lebih padu demi perdamaian berkelanjutan di kawasan ini.