Dapatkah warga Sunni dan Syiah di Sampang kembali hidup berdampingan secara damai setelah mengalami konflik yang keras? Jawaban pertama mengatakan tidak. Kedua belah pihak berbeda dalam keyakinan dan praktek keagamaan. Perbedaan itu menyebabkan benturan keras. Insiden konflik terakhir, yang terjadi pada 26 Agustus tahun lalu, telah menimbulkan korban jiwa, puluhan rumah terbakar, dan pengungsian, mula-mula di GOR Sampang, dan sekarang ke rusunawa di Sidoarjo, Jawa Timur. Ini menjadi bukti bahwa keduanya tak bisa hidup berdampingan lagi.
Lebih lanjut, kekerasan yang telah terjadi semakin mempertegas perbedaan tersebut. Perbedaan menyebabkan kekerasan, yang kemudian mempertegas perbedaan. Perlu diperhatikan bahwa di sini ada anggapan mengenai lingkaran setan kekerasan: perbedaan menimbulkan kekerasan yang akan mempertebal perbedaan dan permusuhan, yang akan menimbulkan kekerasan berikut.
Jawaban pertama ini adalah suara yang lebih dominan. Sebagian ulama di Sampang dan Madura telah lebih dari setahun ini menyuarakan hal senada. Pesan yang ingin disampaikan: kami yang Sunni ini memang berbeda dari Syiah. Karena kami lebih kuat dan memiliki sumber daya lebih besar, kami dapat mendominasi Syiah, membakar rumah mereka supaya minggat dari lingkungan kami. Setelah kekerasan Agustus 2012, dengan semangat berkonflik yang sama, hal senada kembali disampaikan para ulama Madura dalam pertemuan dengan Menteri Agama.
Selaras dengan pandangan di atas, beberapa alternatif solusi dengan sendirinya tertolak. Termasuk di sini adalah pemulangan kembali warga Syiah (repatriasi), pembangunan kembali rumah yang dibakar (rekonstruksi), dan pemulihan hubungan yang rusak karena konflik (rekonsiliasi). Semua jalan keluar ini ditolak dengan sendirinya dalam rangka mempertahankan hasil konflik yang telah dicapai. Untuk apa semua solusi ini bagi pihak yang merasa unggul dan menang?
Yang penting dicatat juga adalah, banyak aktor di luar pihak-pihak yang bertikai yang mengikuti pandangan di atas. Misalnya, Bupati Sampang yang tak terpilih dalam pilkada tahun lalu berkali-kali menyuarakan perlunya mengusir warga Syiah. Dia juga meminta supaya polisi dan TNI melaksanakan permintaannya. Selain itu, seorang Menteri Agama menyuarakan hal senada dalam berbagai kesempatan.
Jawaban pertama di atas, dengan kata lain, dapat mengidentifikasi bagian dari persoalan. Tetapi jawaban itu tidak dapat memberikan jalan keluar yang damai. Beberapa jalan keluar yang ditawarkan ialah yang berada dalam kerangka konflik. Termasuk di sini adalah transfer warga Syiah ke tempat yang jauh, bila perlu ke Pluto. Atau, alternatifnya, mereka berhenti jadi Syiah dan menjadi Sunni, disebut taubatan nasuha. Atau, istilah yang menurut Menteri Agama lebih halus, yang Syiah perlu “dicerahkan dulu”.
Bila perlu, pertobatan Syiah diperkuat dengan bukti nyata: mengisi formulir tobat dari ajaran dan paham Syiah, sebelum kembali ke Sunni. Pemerintah daerah, polisi, TNI, dan menteri-menteri diundang menyaksikan. Kemudian, supaya diketahui seluruh jagat, ikrar tobat tersebut dimuat media massa Jawa timur, nasional, dan internasional.
Jadi, pola-pola relasi sosial yang dibenarkan dan direkomendasikan jawaban pertama ini semuanya berbasis kekuasaan dan kekuatan. Menuruti kehendak dan kemauan pihak yang lebih kuat, mendukung dominasi mayoritas, dan secara implisit ataupun eksplisit membenarkan pemaksaan di bidang keyakinan. Semua ini bukanlah penanganan terhadap masalah Sampang, tapi resep manjur melanggengkan konflik dan permusuhan.
Karena tak dapat memberikan solusi yang damai, jawaban alternatif pun perlu dicari. Beberapa unsur utama jawaban alternatif tersebut dapat disebutkan di sini. Pertama, inisiatif damai yang kuat. Kalau ingin damai, jangan melakukan hal-hal yang akan melanggengkan atau memperparah konflik. Yang dilakukan adalah inisiatif damai yang membuka ruang bagi kerja sama dan hidup berdampingan secara damai. Pengalaman resolusi konflik menunjukkan pentingnya inisiatif yang kuat. Sebab, inisiatif yang kuat akan dapat menjadi penjuru yang menarik berbagai proses perdamaian, baik yang berlangsung di kalangan pihak-pihak yang bertikai maupun aktor-aktor di luar mereka, seperti pemerintah daerah dan polisi.
Kekuatan inisiatif damai juga bersumber dari kepemimpinan yang visioner. Sejarah konflik Sampang telah menunjukkan banyak contoh kepemimpinan yang negatif dan memalukan, yang ditunjukkan tokoh agama, bupati, dan menteri. Dalam seminggu terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai inisiatif damai untuk Sampang. Mudah-mudahan ini inisiatif yang kuat dan visioner.
Kedua, membangun kerangka kerja sama. Inisiatif damai yang kuat mencakup kerangka dan prosedur kerja sama yang melibatkan pihak-pihak yang dulu bertikai. Ini berlaku dalam situasi pasca-perang (misalnya rekonsiliasi Jerman-Prancis setelah PD II), pasca-pemberontakan dan perang saudara (RI dan mantan pemberontak GAM di Aceh), serta Sampang pasca-konflik Sunni-Syiah. Kerja sama ini meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terbatas pada soal agama dan keyakinan. Sebelum kekerasan meletus, komunitas Syiah dan Sunni di Sampang telah bekerja sama di berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, kerja sama tersebut terganggu karena kekerasan yang terjadi. Inisiatif damai yang kuat diperlukan untuk memulai, mendukung, dan melanggengkan kerja sama.
Ketiga, memfasilitasi maaf dan ampunan. Pendekatan pertama yang disebutkan di atas terlalu menekankan peran dendam dan permusuhan, dengan melupakan kapasitas manusia yang tidak kalah pentingnya, yaitu memaafkan dan mengampuni. Anak-anak dapat merangkul, menggandeng tangan, dan mengajak mantan lawannya berkelahi, untuk kembali bermain bersama. Orang dewasa pun dapat menggunakan strategi yang sama.
Inisiatif damai dapat memfasilitasi proses memaafkan dan mengampuni, melalui berbagai forum lokakarya, dialog, dan pengajian. Sering terdengar tuduhan bahwa ulama Madura keras, tidak toleran, serta sandungan repatriasi dan rekonsiliasi. Ini ada benarnya, kalau yang digunakan adalah bingkai konflik dan permusuhan berkelanjutan.
Dalam konteks inisiatif damai yang kuat, yang akan muncul adalah kapasitas ulama untuk menerima perbedaan dan kemajemukan. Tentu saja tidak semua ulama memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang sama. Sebagian memerlukan waktu lebih lama, dan waktu itu dapat diberikan. Yang penting mereka tetap diperhatikan, diajak rembukan. Strategi engagement seperti ini pasti berhasil, jika ada lingkungan yang lebih luas yang mendorong resolusi konflik nirkekerasan.
Rizal Panggabean
Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta