Diskusi dan Pemutaran Film
FIVE BROKEN CAMERAS
Kehidupan dan Perjuangan Sehari-hari Rakyat Palestina
Selasa, 30 Agustus 2016
18:30-selesai
PSKP UGM
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
Universitas Gadjah Mada
Jl. Asam Kranji K-9, Sekip, Jogjakarta
Pendaftaran
082210358999
Film 5 Broken Cameras merupakan gambaran nyata mengenai ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh rakyat Palestina. Akan tetapi, di sisi lain, film ini juga menggambarkan perlawanan sehari-hari rakyat Palestina di sebuah desa di Bil’in, wilayah Tepi Barat. Mereka terancam pendudukan Israel yang semakin mendekat dari waktu ke waktu.
Film ini merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan pengalaman hidup Emad Burnat selama bertahun-tahun hidup dalam tekanan Israel. Film ini seutuhnya dibuat oleh tangan pertama, seorang petani dan kameramen freelance Palestina, Emad Burnat. Lima kamera milik Emad merekam setiap kejadian yang dialami para penduduk di desanya tersebut melawan pendudukan Israel. Menariknya, film ini diedit oleh film maker dan dosen film asal Israel, Guy David, yang memutuskan untuk terlibat dalam produksi film ini setelah dia mengunjungi Bil’in dengan suporter lain yang mendukung kemerdekaan Rakyat Palestina.
Melalui kameranya, Emad merekam beberapa cuplikan sengit dari serangan dan kekejaman tentara Israel di Tepi Barat, serta pembakaran pada perkebunan zaitun milik rakyat Palestina demi membangun pemukiman ilegal Israel di tanah rakyat Palestina. Dia terus-menerus diancam dengan kekerasan fisik maupun perusakan kamera ketika berusaha merekam kekejaman tentara Israel. Dengan dalih bahwa desanya berada di “zona militer tertutup,” pihak militer Israel melarang Emad untuk merekam secara paksa, bahkan ketika Emad berada di rumahnya sendiri. Bagian mengharukan adalah ketika Gibreel, anak Emad, mencoba untuk memahami apa saja kejadian yang dia lihat. Sebagai seorang anak yang tumbuh menyaksikan penindasan yang sedemikian rupa, kata-kata pertama yang ia pelajari adalah “wall” (dinding yang memisahkan desanya dengan perkebunan Zaitun dan pemukiman ilegal Israel), “war” (perang yang berlangsung bahkan sejak dia belum lahir) dan “cartridge”.
Film ini juga menggambarkan adanya saat-saat indah, di mana desa merayakan kemenangan implementasi gencatan senjata; ada pula adegan yang indah di mana penduduk setempat menonton versi mentah dari film dokumenter yang dibuat oleh Emad ini untuk meningkatkan semangat mereka; dan juga momen ketika Gibreel menyerahkan setangkai dahan buah zaitun kepada tentara Isralel yang telah meratakan perkebunan zaitun milik keluarganya dengan buldozer.
5 Broken Cameras adalah sebuah karya yang memberi kita pengalaman langsung bagaimana rasanya berada di dalam situasi penindasan dan perampasan, namun tetap memiliki jiwa yang pantang menyerah dan berjuang untuk kebenaran dan kemerdekaan. Film ini adalah wajah ketangguhan dan penggerak semangat dari sebuah desa bernama Bil’in di Palestina.
Masih banyak hal mengerikan yang mungkin masih tersembunyi dan belum terungkap. Al Nakba atau Malapetaka tahun 1948 menjadi pertanda diusirnya sekitar 1 juta rakyat Palestina dari tanah dan tempat tinggalnya. Yang kemudian dirampas dan diduduki oleh Zionis Israel.
Hingga sekarang banyak diantara rakyat Palestina tidak dapat kembali ke rumahnya. Memegang harapan untuk kembali dengan simbol kunci rumah yang terus diturun temurunkan ke anak cucu mereka.
Dari tempat pengungsian tersebut berkembang semangat perlawanan dan nasionalisme. Bahkan bukan saja diantara para pengungsi Palestina namun juga kelas buruh dan rakyat di Timur Tengah.
Kelompok-kelompok reaksioner mengharapkan koalisi antara negara Muslim untuk mengusir Yahudi Israel. Tapi kita mengetahui dengan baik bagaimana rejim-rejim Timur Tengah juga merupakan boneka dari Imperialis Amerika Serikat. Dan mereka ikut serta menghancurkan gerakan rakyat Palestina.
Hanya solidaritas antara kelas buruh dan rakyat Palestina bersama kelas buruh dan rakyat di Timur Tengah dan di seluruh dunia yang akan mampu membebaskan Palestina.
Perjuangan kelas buruh dan rakyat tertindas tidak boleh dipecah belah berdasarkan agama, suku, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, dsb. Perjuangan kelas buruh bersifat internasionalisme. Bertujuan tidak hanya untuk menghapuskan penindasan dari manusia ke manusia. Namun juga menghapuskan penindasan terhadap bangsa-bangsa.