Rabu, 03 Oktober 2007 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Harian Koran Tempo 3 Oktober 2007 memuat artikel Moch. Faried Cahyono mengenai masalah penggusuran orang miskin dan ledakan konflik. Perda pengusiran gepeng yang dikeluarkan Pemda DKI Jakarta dapat memicu ledakan konflik. Sebuah ledakan konflik menurut Cahyono dapat berupa suatu kerusuhan. Kerusuhan dapat terjadi karena orang papa yang marah terprovokasi.
Cahyono mencontohkan kota Surakarta, yang telah mengalami 11 kali kerusuhan diera moderen ini. Kerusuhan terakhir di kota ini adalah pada bulan Mei 1998, mengiringi kejatuhan Suharto dengan intensitas jauh lebih besar dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Secara korban jiwa jauh mungkin lebih sedikit dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, namun kerugian ekonomi amat besar. Belum lagi dampak lain yang tidak bersifat fisik: trauma psikologis, hilangnya rasa aman, dan runtuhnya kepercayaan kepada negara dan sesama warga negara. Ada dua soal pokok dalam kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, pertama adalah imbas dari konflik di pemerintah pusat yang tidak terkelola dengan baik. Kedua adalah soal rakyat yang kesulitan ekonomi. Jika para gepeng diusir dari Jakarta, tentu mereka akan mengalir ke daerah-daerah. Sementara perputaran ekonomi di Jakarta jauh lebih besar dari di daerah, ini membuat mereka semakin miskin. Apalagi jika Pemda di daerah melakukan perda yang sama dengan DKI Jakarta terhadap para gepeng. Untuk itu Cahyono memberikan hal-hal yang layak diperhatikan dalam pengentasan kemiskinan bukan pengusiran.[sy]
|
Arsip: