Opini
Kamis, 01 Agustus 2013 | |
Dapatkah warga Sunni dan Syiah di Sampang kembali hidup berdampingan secara damai setelah mengalami konflik yang keras? Jawaban pertama mengatakan tidak. Kedua belah pihak berbeda dalam keyakinan dan praktek keagamaan. Perbedaan itu menyebabkan benturan keras. Insiden konflik terakhir, yang terjadi pada 26 Agustus tahun lalu, telah menimbulkan korban jiwa, puluhan rumah terbakar, dan pengungsian, mula-mula di GOR Sampang, dan sekarang ke rusunawa di Sidoarjo, Jawa Timur. Ini menjadi bukti bahwa keduanya tak bisa hidup berdampingan lagi.
Lebih lanjut, kekerasan yang telah terjadi semakin mempertegas perbedaan tersebut. Perbedaan menyebabkan kekerasan, yang kemudian mempertegas perbedaan. Perlu diperhatikan bahwa di sini ada anggapan mengenai lingkaran setan kekerasan: perbedaan menimbulkan kekerasan yang akan mempertebal perbedaan dan permusuhan, yang akan menimbulkan kekerasan berikut.
Jawaban pertama ini adalah suara yang lebih dominan. Sebagian ulama di Sampang dan Madura telah lebih dari setahun ini menyuarakan hal senada. Pesan yang ingin disampaikan: kami yang Sunni ini memang berbeda dari Syiah. Karena kami lebih kuat dan memiliki sumber daya lebih besar, kami dapat mendominasi Syiah, membakar rumah mereka supaya minggat dari lingkungan kami. Setelah kekerasan Agustus 2012, dengan semangat berkonflik yang sama, hal senada kembali disampaikan para ulama Madura dalam pertemuan dengan Menteri Agama.
Selaras dengan pandangan di atas, beberapa alternatif solusi dengan sendirinya tertolak. Termasuk di sini adalah pemulangan kembali warga Syiah (repatriasi), pembangunan kembali rumah yang dibakar (rekonstruksi), dan pemulihan hubungan yang rusak karena konflik (rekonsiliasi). Semua jalan keluar ini ditolak dengan sendirinya dalam rangka mempertahankan hasil konflik yang telah dicapai. Untuk apa semua solusi ini bagi pihak yang merasa unggul dan menang?
Yang penting dicatat juga adalah, banyak aktor di luar pihak-pihak yang bertikai yang mengikuti pandangan di atas. Misalnya, Bupati Sampang yang tak terpilih dalam pilkada tahun lalu berkali-kali menyuarakan perlunya mengusir warga Syiah. Dia juga meminta supaya polisi dan TNI melaksanakan permintaannya. Selain itu, seorang Menteri Agama menyuarakan hal senada dalam berbagai kesempatan.
Jawaban pertama di atas, dengan kata lain, dapat mengidentifikasi bagian dari persoalan. Tetapi jawaban itu tidak dapat memberikan jalan keluar yang damai. Beberapa jalan keluar yang ditawarkan ialah yang berada dalam kerangka konflik. Termasuk di sini adalah transfer warga Syiah ke tempat yang jauh, bila perlu ke Pluto. Atau, alternatifnya, mereka berhenti jadi Syiah dan menjadi Sunni, disebut taubatan nasuha. Atau, istilah yang menurut Menteri Agama lebih halus, yang Syiah perlu “dicerahkan dulu”.
Bila perlu, pertobatan Syiah diperkuat dengan bukti nyata: mengisi formulir tobat dari ajaran dan paham Syiah, sebelum kembali ke Sunni. Pemerintah daerah, polisi, TNI, dan menteri-menteri diundang menyaksikan. Kemudian, supaya diketahui seluruh jagat, ikrar tobat tersebut dimuat media massa Jawa timur, nasional, dan internasional.
Jadi, pola-pola relasi sosial yang dibenarkan dan direkomendasikan jawaban pertama ini semuanya berbasis kekuasaan dan kekuatan. Menuruti kehendak dan kemauan pihak yang lebih kuat, mendukung dominasi mayoritas, dan secara implisit ataupun eksplisit membenarkan pemaksaan di bidang keyakinan. Semua ini bukanlah penanganan terhadap masalah Sampang, tapi resep manjur melanggengkan konflik dan permusuhan.
Karena tak dapat memberikan solusi yang damai, jawaban alternatif pun perlu dicari. Beberapa unsur utama jawaban alternatif tersebut dapat disebutkan di sini. Pertama, inisiatif damai yang kuat. Kalau ingin damai, jangan melakukan hal-hal yang akan melanggengkan atau memperparah konflik. Yang dilakukan adalah inisiatif damai yang membuka ruang bagi kerja sama dan hidup berdampingan secara damai. Pengalaman resolusi konflik menunjukkan pentingnya inisiatif yang kuat. Sebab, inisiatif yang kuat akan dapat menjadi penjuru yang menarik berbagai proses perdamaian, baik yang berlangsung di kalangan pihak-pihak yang bertikai maupun aktor-aktor di luar mereka, seperti pemerintah daerah dan polisi.
Kekuatan inisiatif damai juga bersumber dari kepemimpinan yang visioner. Sejarah konflik Sampang telah menunjukkan banyak contoh kepemimpinan yang negatif dan memalukan, yang ditunjukkan tokoh agama, bupati, dan menteri. Dalam seminggu terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai inisiatif damai untuk Sampang. Mudah-mudahan ini inisiatif yang kuat dan visioner.
Kedua, membangun kerangka kerja sama. Inisiatif damai yang kuat mencakup kerangka dan prosedur kerja sama yang melibatkan pihak-pihak yang dulu bertikai. Ini berlaku dalam situasi pasca-perang (misalnya rekonsiliasi Jerman-Prancis setelah PD II), pasca-pemberontakan dan perang saudara (RI dan mantan pemberontak GAM di Aceh), serta Sampang pasca-konflik Sunni-Syiah. Kerja sama ini meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terbatas pada soal agama dan keyakinan. Sebelum kekerasan meletus, komunitas Syiah dan Sunni di Sampang telah bekerja sama di berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, kerja sama tersebut terganggu karena kekerasan yang terjadi. Inisiatif damai yang kuat diperlukan untuk memulai, mendukung, dan melanggengkan kerja sama.
Ketiga, memfasilitasi maaf dan ampunan. Pendekatan pertama yang disebutkan di atas terlalu menekankan peran dendam dan permusuhan, dengan melupakan kapasitas manusia yang tidak kalah pentingnya, yaitu memaafkan dan mengampuni. Anak-anak dapat merangkul, menggandeng tangan, dan mengajak mantan lawannya berkelahi, untuk kembali bermain bersama. Orang dewasa pun dapat menggunakan strategi yang sama.
Inisiatif damai dapat memfasilitasi proses memaafkan dan mengampuni, melalui berbagai forum lokakarya, dialog, dan pengajian. Sering terdengar tuduhan bahwa ulama Madura keras, tidak toleran, serta sandungan repatriasi dan rekonsiliasi. Ini ada benarnya, kalau yang digunakan adalah bingkai konflik dan permusuhan berkelanjutan.
Dalam konteks inisiatif damai yang kuat, yang akan muncul adalah kapasitas ulama untuk menerima perbedaan dan kemajemukan. Tentu saja tidak semua ulama memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang sama. Sebagian memerlukan waktu lebih lama, dan waktu itu dapat diberikan. Yang penting mereka tetap diperhatikan, diajak rembukan. Strategi engagement seperti ini pasti berhasil, jika ada lingkungan yang lebih luas yang mendorong resolusi konflik nirkekerasan.
Rizal Panggabean
Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Tulisan ini juga dimuat di Koran.Tempo.Co
|
Jumat, 15 Maret 2013 | |
Konflik antara gajah dan manusia di lampung akhirnya merembet menjadi konflik antara manusia dan manusia, ketika warga yang desanya kemasukan gajah dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) mengusir gajah ke desa lain. Lambatnya pemerintah memecahkan persoalan menyebabkan sebagian warga mulai berpikir akan mengubah peta konflik, dari gajah versus masyarakat menjadi gajah versus pemerintah. Cara yang mungkin akan dilakukan adalah dengan menggiring gajah liar ke pusat pemerintahan, yaitu kabupaten agar pemerintah tahu rasanya diserang gajah liar.
Sampai saat ini warga yang desanya kedatangan gajah masih bertahan tidak mernbunuh binatang tersebut, mengikuti saran pemerintah dan atas kesadaran sendiri dalam melindungi hewan langka ini, meskipun tanaman karet, sawit, ketela, dan tanaman milik warga lainnya dirusak gajah. Bukannya tidak mungkin penduduk yang putus asa akan membunuhi gajah sebagai cara menyelesaikan masalah. Sebelum tragedi ini terjadi, marilah kita petakan masalah dengan cara sederhana dengan mengetahui siapa yang berkonflik, bagaimana karakternya, dan bagaimana pemecahannya. Pelaku konflik pertama adatah gajah. Meski sudah mendapatkan tempat tinggal yang cukup luas dengan pakan rumput yang berlimpah di TNWK, hewan cerdas ini punya bawaan, selalu mencari makanan yang lebih enak dibanding rumput. Mereka cenderung keluar TNWK mencari ketela, pelepah muda sawit, bagian pohon karet muda, dan tanaman lain milik warga. Gajah tidak mau makan ketela racun. Pelaku konflik kedua adalah penduduk sekitar TNWK. Lahan TNWK yang luas dan kaya rumput memancing warga memelihara kerbau yang dilepasliarkan. Ada warga yang punya sedikit kerbau, ada pula yang banyak. Masuknya kerbau ke TNWK menyebabkan ketersediaan pakan gajah terganggu. Petugas juga menuduh kerbau menularkan penyakit ke gajah. Pemerintah akhirnya melarang penduduk sekitar TNWK memelihara kerbau. Pengawasan oleh polisi hutan diperketat. pelarangan ini mengakibatkan menurunnya kesejahteraan penduduk. Harap diketahui, satu keluarga yang mempunyai lima ekor kerbau pasti tercukupi biaya pendidikan anak-anaknya, juga biaya berhaji ke Tanah Suci. Konflik antara warga dan polisi hutan TNWK pun terjadi. Ada perlawanan dari penduduk ketika mereka dilarang memelihara kerbau. Sempat beredar isu, petugas melepas harimau agar kerbau tak masuk lahan taman nasional. Seandainya isu itu tidak benar, isu ini lebih memanaskan situasi. Provinsi Lampung tetah kehilangan 9 kantong populasi gajah dari 12 kantong di Lampung yang ditemukan pada 1980 (Hedges et al. 2005). Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan penggunaan lahan untuk usaha produktif, diantaranya perkebunan, menjadikan petugas lebih ketat menjaga agar kantong yang tersisa tidak hilang bersama punahnya gajah di wilayah ini. Masalah berikutnya muncul ketika kerbau sudah dilarang dipelihara werga, ternyata intensitas gajah keluar TNWK dan masuk desa justru meningkat. Menurut warga yang kami wawancarai, berkurangnya aktivitas manusia di TNWK menjadikan gajah lebih bebas masuk ke lahan penduduk. Rombongan gajah yang kadang-kadang berjumlah 60-an ekor menyebabkan kerugian hingga puluhan juta rupiah sekali serang. Bagaimana cara agar gajah aman dan manusia sejahtera? Kisah klasik ekonomi tragedy of common barangkali bisa dijadikan sebagai pelajaran untuk mengatur persoalan ini. Kisah Eropa Abad Pertengahan itu menceritakan konflik antarpemilik domba yang menggunakan lahan milik bersama. Ketika semua orang yang memelihara domba semakin banyak, lahan milik bersama tidak mampu memenuhi kebutuhan rumput. Rumput semakin habis, bahkan tidak tumbuh. Semua orang merugi. Solusi yang disepakati adalah dengan membagi rata lahan. Setiap pemilik domba mendapat bagian sama. Mereka dikenai peraturan, hanya boleh memelihara domba di lahan sendiri. Persoalan selesai. Pun semua warga tahu batas maksimal lahan sendiri untuk jumlah domba yang bisa dipelihara. Poin penting konsep ekonomi ini adalah, masalah bisa dipecahkan bila ada pengakuan akan milik pribadi. Meskipun cerita ini menyederhanakan, perlindungan binatang di Eropa-Amerika banyak terinspirasi kisah ini. Sebetulnya, secara kreatif, penduduk Indonesia adalah pecinta burung, mamalia, reptil, ikan, primata langka, dan hewan liar lain. Mereka melakukan penangkaran bahkan ketika arahan pemerintah tidak ada. Masalahnya adalah apakah tidak ada “hak” hewan liar tetap hidup bebas d alam? SoaI ini penting kita pikirkan ketika kita akan memutus nasib hewan liar menjadi hewan domestik dengan status hak milik (pribadi). Dalam kasus gajah Lampung, sebetulnya dapat ditemukan win-win solution jika diterapkan prinsip-prinsip ekonomi, terutama menyangkut soal pentingnya menerapkan batas maksimal penggunaan lahan, baik untuk manusia maupun gajah sekaligus. Dari situ didapat solusi gajah salamat tetap hidup di alam liar, sementara manusia yang hidup di sekitarnya lebih sejahtera. Langkah yang kami usulkan adalah sebagai berikut. Pertama, menjaga agar gajah tidak keluar dari TNWK dengan cara memagari lahan TNWK dengan kegiatan manusia. Bagaimanapun, yang paling ditakuti gajah adalah manusia. Tapi, bagaimana agar manusia yang memagari gajah lebih sejahtera? Mereka harus diperbolehkan memelihara kerbau lagi. Dengan catatan kerbau tidak masuk TNWK. Cerita tragedy of common bisa diterapkan untuk kasus kerbau, di mana hewan ini hanya boleh dipelihara di lahan milik sendiri (bagi penduduk sekitar hutan TNWK) atau hanya boleh diliarkan di lahan tertentu yang mendapat izin atau boleh dihuni manusia. Jadi, tidak ada iagi kerbau yang dibebasliarkan. Mungkin akan muncul masalah menyangkut keterpenuhan pakan kerbau jika lahannya terbatas. Pemecahannya, dikenalkan saja teknik pemeliharaan kerbau sebagaimana pemeliharaan sapi dan domba jika dikandangkan. Intensifikasi pakan dengan penanaman rumput unggul, dan kebutuhan lain, termasuk pemasaran, harus diajarkan kepada warga pemilik kerbau. Jumlah gajah di alam liar taman nasional juga harus dipantau. Jika jumlahnya dinilai melebihi kapasitas TNWK dan menyebabkan kurangnya pakan, dilakukanlah pengurangan atau pemanenan gajah untui dipindah ke tempat lain. Jadi, di alam liar gajah tetap liar. Tapi, jumlahnya perlu dibatasi sesuai dengan kapasitas tempat tinggal. Tentu, selain rencana yang baik, dibutuhkan petugas dan pejabat yang cakap yang mampu menjadi penengah jika terjadi konflik. Orientasi utama perencanaan penyelesaian konflik gajah versus manusia ini adalah lestarinya gajah sebagai satwa liar, dan sejahteranya manusia yang tinggal di sekeliling gajah. Sekali lagi, harus dengan pemahaman ada batas-batas nilai ekonomis yang tidak bisa dianggap tidak ada di lahan bersama yang ditinggali gajah ataupun manusia. Moch. Faried Cahyono, Pengajar Ekonomika Publik Sekolah Vokasi Diploma Ekonomi UGM, peneliti ekonomi pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM. Hakim Daldiri, peneliti sosial ekonomi Bright Indonesia, tinggal di Lampung. Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 5 Maret 2013 |
Jumat, 15 Juni 2012 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Author: Frans de Djalong (Published in JSP, Vol 14, No 2 November 2010) This paper informs us how ‘terrorism’, including ‘islamic radicalism’, has been forcefully employed in post-cold war global politics to inform the forced primacy of secular politics and other liberal norms. Instead of drawing upon current academic submission to liberal hegemony of knowledge production, the author discloses the contruction of ‘Islamic terrorism’ as illiberal evil of American Empire takes place at both international and global-social domains. As strongly argued, discursive strategy of liberal fundamentalism, affaced through US and western power foreign policy and action, is to recreate and disseminate the perception that it is not terrorism that wears Islamic Cloth but Islam itself uses terrorism as weapon of truth claim for justice. This strategy is what the author calls reorientalization of Islam, reminding us Said’s attacks on the ways colonialism and imperialism have produced ‘the orient’ in favor of the imperialists’ supremacy. This post cold strategic campaign now fails at various fronts of regional politics, particularly in Middle East and Central Asia. But its effects may last longer because it has shaped broader public mind and produced a vast number of Moslem intellectuals and academicians who unconciously promote liberal fundamentalism in powerful language game of ideological warfare like ‘regime change’, ‘multiculturalism’, ‘international community’, and others of liberal origins as one can easily read in daily newspapers, popular and academic journal and academic curriculum of higher institutions including in Indonesia in the last ten years since 9/11.
|