• UGM
  • IT Center
  • Perpustakaan Pusat
  • Research
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
  • Home
  • Tentang Kami
    • sejarah
    • Visi dan Misi
    • Profil Pengurus
      • Plt Kepala PSKP
      • Sekretaris
    • Profil Tim Ahli
    • Profil Peneliti
    • Profil Karyawan
    • Struktur Organisasi
    • Patner
  • Penelitian
  • Kegiatan
    • Workshop
    • Konferensi
    • Pelatihan
    • Diskusi
    • Advokasi
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Monograf
    • Buletin
    • Buku Saku
    • Newslatter
    • Artikel
  • Ruang Pustaka
  • Beranda
  • Publikasi
Arsip:

Publikasi

Buku : Dua Menyemai Damai : Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi

BukuPublikasi Wednesday, 29 June 2022

Editor
ISBN 978-602-386-343-3
Bahasa Indonesia
Halaman xxxii + 252
Tahun 2020
Ukuran 15 x 23 cm
Harga —
Ebook _

Buku : Pandemi, Konflik, Transformasi : Tantangan Demokrasi dan Inklusi Sosial

BukuPublikasi Tuesday, 28 June 2022

Editor Luqman-nul Hakim, Frans A Djalong dan Mohtar Mas’oed
ISBN 978-623-359-021-1
Bahasa Indonesia
Halaman xvii+280
Tahun 2021
Ukuran 15,5 x 23 cm
Harga —
Ebook —

Pandemi COVID-19 membongkar dua fenomena paradoksal. Disatu sisi, tata kelola krisis kesehatan tidak berjalan dengan di dalam negeri maupun maupun antarnegara yang membuat epidemi terus berlangsung dan tidak pasti kapan berakhir. Sementara pada sisi yang lain, konflik lama dan konflik baru mengemuka selama pandemi berlangsung dengan kombinasi isu, aktor, dan arena dalam dinamika ekonomi-politik, geopolitik, dan biopolitik.

Buku ini berusaha menjawab pertanyaan penting mengenai masa depan perdamaian dari inklusi konteks pandemi dan pascapandemi. Melalui sejumlah cara pandang dan pengalaman, buku ini berlaku sebagai kritik terhadap kecenderungan teknokrasi dan antidemokrasi dalam tata kelola pandemi yang berbentuk dalam wacana kedaruratan nasional dan global. Sehimpun tulisan dalam buku ini dimaksudkan untuk meninjau ulang masalah dan tantangan demokrasi, pembangunan, dan keamanan dalam konteks sosial dan struktur kekuasaan yang bertransformasi melalui wacana pandemi. read more

Buku : Agensi Perempuan Dalam Lingkaran Ekstremisme Kekerasan : Narasi dari Poso, Bima, Lamongan dan Deli Serdang

BukuPublikasi Tuesday, 28 June 2022

Editor M. Najib Azca  & Rani Dwi Putri
ISBN 978-602-6205-45-2
Bahasa Indonesia
Halaman xii + 240
Tahun 2021
Ukuran 15,5 x 23 cm
Harga —
Ebook —

Buku ini merupakan hasil studi ihwal agensi perempuan dalam lingkaran ekstremisme kekerasan di empat wilayah, yaitu Poso, Bima, Lamongan, dan Deli Serdang. Studi Komparatif ini berangkat dari fenomena baru ihwal maraknya keterlibatan perempuan dalam aksi dan gerakan ekstremisme kekerasan. Berbeda dengan pendekatan dominan yang menempatkan perempuan semata sebagai obyek dan korban, studi ini mencoba mengekplorasi dua sisi agensi perempuan dalam jejaring ekstremisme kekerasan. Pertama, peran perempuan dalam proses kontra-ektremisme melalui peran-perannya sebagai ibu, istri, dan warga. Kedua, peran perempuan dalam aksi dan gerakan yang bercorak ekstremisme kekerasan dan terorisme. Studi komparatif di empat wilayah menunjukkan dinamika lokal yang berbeda. Poso dan Bima merepresentasikan wilayah dengan geliat gerakan ekstremisme yang cukup kuat. SEdangkan Lamongan dan Deli Serdang merupakan wilayah dimana ikhtiar kontra ekstremisme kekerasan bertumbuh baik digerakkan oleh aktpr-aktor lokal read more

PELA Newsletter Vol. 3 No. 1

NewslatterPublikasi Friday, 17 March 2017

       

Edisi Vol. 3 No. 1 – September 2005
Pendidikan untuk Perdamaian
Kontributor
dan Editor
Lambang Trijono , Samsu Rizal Panggabean, M. Najib Azca, Arifah Rahmawati, Muhadi Sugiono, Tri Susdinarjanti, Diah Kusumaningrum, Dody Wibowo, Nurul Aini, Moch. Faried Cahyono, Kristina Sintia Dewi, Ni Komang Widiani, Frans de Djalong, Zuly Qodir
Bahasa Indonesia dan Inggris
Pendidikan untuk perdamaian (education for peace) merupakan sarana penting untuk membangun perdamaian, terutama dari sisi budaya. Ini merupakan bagian utama dari pengembangan budaya damai di masyarakat (culture for peace).

Meskipun intinya tidak jauh beda, pendidikan untuk perdamaian perlu dibedakan dengan pendidikan perdamaian (peace education). University of Peace (UPEACE), dalam rancangan strategisnya, mengartikan pendidikan untuk perdamaian mencakup semua jenis proses belajar, pelatihan, dan penelitian berkaitan dengan upaya membangun perdamaian. Setiap bentuk riset, lokakarya, pelatihan, seminar, yang dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran (rising awareness) dalam pencegahan konflik di masyarakat, misalnya, masuk dalam kategori ini.

Sementara, pendidikan perdamaian, atau pendidikan untuk perdamaian dalam arti sempit, mencakup kegiatan khusus di sektor pendidikan untuk meningkatkan pemahaman, ketrampilan, dan perbaikan sistem pendidikan untuk membangun kapasitas perdamaian (capacities for peace). Pengembangan kurikulum pendidikan perdamaian di sekolah-sekolah atau universitas, misalnya, masuk dalam pengertian ini.

Keduanya beda dalam tataran metodologis, tetapi tidak selalu beda dalam tataran perspektif. Sebuah lembaga perdamaian, misalnya, bisa hanya melakukan salah satu, atau keduanya, tergantung pada pilihan metodologi dan sasaran yang dituju.

Tulisan dalam edisi Pela kali ini menyajikan keduanya. Pembaca akan menemukan berbagai variasi yang kaya dari keduanya yang bisa digunakan untuk bahan pelajaran bagi perbaikan praktek pembangunan perdamaian (peace building).

Persoalan penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan pendidikan untuk perdamaian adalah masalah pilihan pendekatan yang digunakan. Pendidikan untuk perdamaian haruslah menyentuh aspek mendasar ketidakadilan struktural, sebagai sumber utama konflik kekerasan. Bagaimana pendidikan untuk perdamaian menjadi sarana pembebasan (liberasi), seperti ditekankan oleh Freirean, penting dijadikan titik tolak acuan. Elise Boulding menyebut pendidikan ala ini sebagai strategi mengubah sistem kekerasan di masyarakat (uncivilzed society) dengan bertitik tolak dari perubahan kesadaran budaya damai warga masyarakat sipil (civic culture).

Bagaimana hal itu dijalankan, sangat tergantung pada kapasitas dan peran masing-masing. Kalangan pemerintah barangkali lebih suka mengambil jalur pendidikan formal (track 1), sementara kalangan sipil lebih suka jalur non-formal (track 2). Namun untuk lebih efektif, pendekatan banyak jalur (multi-track) sangat diperlukan.

Hingga kini, tantangan terberat untuk terwujudnya perdamaian di masyarakat dari sisi budaya, terutama terletak pada belum adanya ruang sipil (civil society sphere) yang sehat untuk tumbuhnya budaya damai tanpa kekerasan (civic culture). Tumbuhnya ruang hidup sipil yang sehat terus menerus digerogoti oleh, meminjam istilah Habermas, ‘distorsi komunikasi sistemik’ (systemic communication distortions), baik disebabkan oleh intervensi negara yang berlebihan maupun fragmentasi sipil yang akut.

Demikian itu membutuhkan peran lembaga penengah (mediating institutions) yang mampu memfasilitasi dan memediasi keduanya; pemerintah dan masyarakat sipil. Komunitas akademisi disini menjadi penting untuk berperan menjembatani keduanya, baik melalui pendidikan perdamaian, seperti pengembangan kurikulum, metode pengajaran, pelatihan, dsb., maupun melalui aktivitas pendidikan untuk perdamaian di berbagai ranah kehidupan, baik ranah kehidupan sipil maupun politik formal.

Download
Bahasa Indonesia (pdf): Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 (Indonesia) Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 [Indonesia]
English (pdf): Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 (English) Pela Newsletter Vol. 3 No. 1 [English]

PELA Newsletter Vol. 2 No. 1

NewslatterPublikasi Friday, 17 March 2017

klik: perbesar image

Edisi Vol. 2 No. 1 – September 2004
Yang Terlupakan Dari Ambon
Kontributor
dan Editor
Lambang Trijono, Samsu Rizal Panggabean, M. Najib Azca, Arifah Rahmawati, Tri Susdinarjanti, Diah Kusumaningrum, Dody Wibowo, Nurul Aini, Moch. Faried Cahyono, Kristina Sintia Dewi, Ni Komang Widiani, Frans de Djalong, Tetty Naiborhu, Novri Susan, Arie Sudjito
Bahasa Indonesia dan Inggris
Ambon kembali bergolak. Ini cukup mengagetkan kita. Publik selama ini berfikir Ambon aman-aman saja. Warga ambon sendiri selama satu tahun terakhir sedang giat membangun perdamaian menyongsong masa depan lebih baik, setelah lama terpuruk dalam konflik.Tapi orang lupa bahwa potensi konflik masih tersimpan di dasar samodra masyarakat pasca-konflik Ambon. Masyarakat Ambon pasca konflik masih sangat rentan (fragile). Konflik baru-baru ini setidaknya didasari oleh setting perubahan masyarakat pasca konflik Ambon dalam tiga ranah.

Pertama, terjadi pergeseran politik yang menguntungkan salah satu komunitas (Kristen) dan mengecewakan komunitas lain (Muslim). Jabatan politik di era pasca konflik, khususnya di Ambon, diisi oleh tokoh-tokoh dari kalangan Kristen. Demikian itu, meski hasil dari proses pemilu dan pemilihan kepala daerah yang sah, bagi sebagian elit yang merasa tersingkir (Muslim), konflik kemarin dianggap menguntungkan komunitas Kristen. Persoalan demikian jelas menganggu efektivitas pemerintah dalam kebijakan pembangunan dan perdamaian.

Kedua, sesudah perjanjian Malino, komunitas Ambon giat membangun dengan harapan perdamaian sangat tinggi. Namun, dalam praktek di lapangan program-program pembangunan dan perdamaian kurang menyentuh masalah pasca konflik seperti kecemburuan social, segregasi Muslim-Kristen, pengungsi, pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya. Tidak terpecahkannya masalah ini menimbulkan banyak kekecewaan yang menjadi potensi baru pasca konflik Ambon.

Ketiga, konflik Ambon terkait dengan banyak faktor, baik bersifat akar maupun cabang-cabang masalah yang muncul pada pasca konflik. Masalah-masalah seperti krisis pemerintahan, keamanan, kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan kelas social-ekonomi. Masalah-masalah ini belum tersentuh oleh berbagai kebijakan dan respon pembangunan dan perdamaian selama ini. Akar konflik masih seperti api dalam sekam, yang setiap waktu bisa meledak.

Diatas berbagai masalah ini, pertikaian antara kelompok FKM dan pendukung NKRI baru-baru ini hanyalah sebagai pemicu (trigger) saja. Ibaratnya seperti gelombang permukaan yang menghujam ke bawah arus pusaran dasar samudra. Hal itu ditambah dengan faktor mobilisasi konflik oleh pihak ketiga bisa mengoncang gelombang konflik Ambon menjadi konflik besar seperti terjadi sekarang ini. Jadi konflik ini tidak perlu dibesar-besarkan, karena bukan masalah sejati konflik Ambon.

Tapi, perlu diingat bahwa ini adalah persoalan kota Ambon, bukan persoalan Maluku secara keseluruhan. Daerah-daerah kabupaten di luar kota Ambon seperti Tual, Masohi, dan Buru, relatif aman berjalan seperti biasa. Tidak bisa digeneralisir. Meski potensi konflik ada, tetapi mereka relatif masih berharap banyak dengan perbaikan-perbaikan yang terjadi selama ini.

Di Tual misalnya, pemerintahannya mendapat legitimasi yang kuat dari warganya karena adat dan tokohnya menjadi sumber semangat, orientasi, dan roh, dalam menjalankan roda pemerintahan. Kapasitas lokal mereka miliki untuk mengatasi konflik-konflik sehari-hari yang muncul sehingga tidak menjadi kekerasan. Hal itu juga berlangsung di Buru dan Masohi, meski dengan derajad berbeda.

Kapan Ambon seperti Tual dan daerah lainnya? Kapan daerah lain mempengaruhi Ambon, bukan sebaliknya? Seperti dalam semangat revolusi “desa-desa mengepung kota” atau “daerah-daerah mengepung pusat“, dengan revolusi damai tentu saja. Untuk itu, dukungan untuk memperkuat basis kapasitas lokal untuk perdamaian sangat diperlukan.

Download
Bahasa Indonesia (pdf): Pela Newsletter Vol. 2 No. 1 (Indonesia) Pela Newsletter Vol. 2 No. 1 [Indonesia]
English (pdf): Pela Newsletter Vol. 2 No. 1 (English) Pela Newsletter Vol. 2 No. 1 [English]

PELA Newsletter Vol. 1 No. 4

NewslatterPublikasi Friday, 17 March 2017

 klik: perbesar image
Edisi Vol. 1 No. 4 – Desember 2003
Dimensi Lain dari Human Security
Kontributor
dan Editor
Lambang Trijono, Samsu Rizal Panggabean, Diah Kusumaningrum, Dody Wibowo, Nurul Aini, M. Najib Azca, Tri Susdinarjanti, Moch. Faried Cahyono, Kristina Sintia Dewi, Ni Komang Widiani, Tetty Naiborhu, Novri Susan, Ulyati Retno Sari
Bahasa Indonesia dan Inggris
Bencana banjir Bohorok, di Sumatera Utara baru-baru ini, menyebabkan ratusan orang tewas. Sungguh ironis, ini terjadi karena kebodohan kita tidak
mencegah kerusakan lingkungan.Kekerasan adalah segala tindakan atau keadaan yang menyebabkan atau menghambat realisasi potensi manusia di bawah kemampuan aktualisasinya.

Mati karena banjir termasuk kategori kekerasan yang dibuat manusia. Hidup di sekitar lingkungan bahaya seperti di reaktor nuklir yang siap meledak setiap saat, adalah hidup penuh resiko. Dan, atas nama pembangunan ekonomi orang juga merusak lingkungan. Kekerasan pembangunan terjadi.

Bencana Bohorok menuntut kita untuk merefleksi atas salah satu dimensi keamanan manusia, yakni, kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan, sama
buruknya de-ngan konflik kekerasan akibat buruknya sistem politik. Korban tewas yang terjadi sama- sama sia-sia, kerena kebodohan kita tidak mencegahnya.

Membiarkan orang mati karena kebodohan adalah kekerasan ganda. Jika kekerasan seperti itu terus berulang dan tanpa upaya pencegahan, apakah kita ingin bunuh diri secara sistematik dan perlahan-lahan?

Download
pdf format: Pela Newsletter Vol. 1 No. 4 PELA Newsletter Vol. 1 No. 4

PELA Newsletter Vol. 1 No. 3

NewslatterPublikasi Friday, 17 March 2017

klik: perbesar image

Edisi Vol. 1 No. 3 – Juni 2003
Kesadaran Global Anti-Kekerasan
Kontributor
dan Editor
Lambang Trijono, Samsu Rizal Panggabean, Diah Kusumaningrum, Dody Wibowo, Nurul Aini, Kristina Sintia Dewi, Tetty Uli Naiborhu, Novri Susan, Ulyati Retno Sari, Glenn Francois Arradon, Fuad Mardatillah, De Ronnie
Bahasa Indonesia dan Inggris
Baru saja, dunia kita digoncang peristiwa dahsyat, serangan Amerika dan Inggris ke Irak.Peristiwa ini menyadarkan kita betapa beratnya tantangan yang kita hadapi. Bukan hanya konflik dalam negeri, seperti kasus Aceh, yang kini masih terus bergolak tetapi, juga konflik global. Dunia tidaklah sesempit yang dulu kita bayangkan. Kejadian di ujung dunia lain, berdampak luas pada dunia sekitar kita.

Perang di Irak telah menggeser spektrum perdamaian. Bayangbayang radikalisme agama, terorisme, anti Amerika, tiba-tiba di depan mata.

Namun, peristiwa itu juga membawa hikmah tersendiri. Gelombang protes anti perang tiba-tiba bangkit di seluruh penjuru dunia.

Jeritan rakyat sipil Irak terhimpit perang, selain menegaskan komitmen menolak segala bentuk perang, juga membangkitkan solidaritas sipil global antikekerasan.

Namun, bisakah kita menjadikan nya sebagai gerakan perdamaian baru? Tentu tidak cukup menjadi pasifis. Perlu dibuktikan menjadi gerakan aksi nir-kekerasan yang nyata.

Download
pdf format: Pela Newsletter Vol. 1 No. 3 PELA Newsletter Vol. 1 No. 3

 

PELA Newsletter Vol. 1 No.2

NewslatterPublikasi Friday, 17 March 2017

klik: detail image

Edisi Vol. 1 No. 2 – Desember 2002
Jejak-Jejak Langkah Perdamaian
Kontributor
dan Editor
Lambang Trijono, Diah Kusumaningrum, Arie Sujito, Novri Susan, Ulyati Retno Sari, Glenn Francois Arradon
Bahasa Indonesia dan Inggris
Tak terasa tahun 2002 berlalu. Waktu berlalu meninggalkan hari, manusia melangkah meninggalkan jejak sejarah.Tahun 2002 merupakan setitik perjalanan sejarah itu. Berbagai peristiwa konflik masih terjadi di tahun 2002. Ledakan bom masih terjadi di Ambon, penembakan di Timika, senjata masih meletus di Aceh, serta terorisme mengguncang Bali. Darah masih terus mengucur di tanah air.

Namun, pada saat yang sama kita menemukan harapan, antara lain penandatanganan Deklarasi Malino hingga perjanjian damai GAM dan RI di Genewa baru-baru ini.

Kita perlu belajar dari sejarah. Melakukan refleksi atas berbagai peristiwa konflik menuju transformasi. Transformasi berarti mengubah konflik kekerasan di masa lalu, menuju perdamaian di masa depan.

Rintisan perdamaian itu merupakan permulaan baik. Kita perlu memperluas langkah perdamaian.

Perjanjian Malino perlu disusul pemulihan masyarakat Maluku, penandatanganan Genewa perlu diteruskan dengan langkah kongkrit, dan para “pejuang perdamaian” di kalangan sipil perlu melembagakan aksinya.

Jika ada pepatah “Banyak jalan menuju Roma” , pasti “Banyak jalan menuju damai”. Jejak-jejak langkah perdamaian itu merupakan rintisan
jalan awal.

Download
pdf format: Pela Newsletter Vol. 1 No. 2 Pela Newsletter Vol. 1 No. 2 (290.96 Kb)

PELA Newsletter Vol. 1 No. 1

NewslatterPublikasi Friday, 17 March 2017

 

 

Edisi Vol. 1 No. 1 – Juli 2002
Darurat Militer di Siang Bolong
Kontributor
dan Editor
Nanang Pamuji Mugasejati, Lambang Trijono, Samsu Rizal Panggabean, Diah Kusumaningrum, Dody Wibowo, Nurul Aini
Bahasa Indonesia dan Inggris
Konflik di Ambon dan Aceh memang serius. Tapi, betulkah status darurat militer diperlukan di sana? Soal darurat, Aceh sudah darurat sejak dulu. Kalau isu itu baru dimunculkan sekarang, kita jadi bertanya-tanya ada apa di baliknya. Kebangkitan militer?Status darurat adalah status khusus. Darurat militer diterapkan ketika negara runtuh, darurat sipil ketika pemerintah lokal jatuh, dan darurat kemanusiaan ketika fungsi-fungsi pelayanan publik macet total. Yang jelas, ketiganya harus didasari justifikasi politik dan hukum yang kuat. Darurat militer jelas tidak diperlukan di Aceh, Maluku dan derah lain. Negara masih segar bugar, inisiatif damai di kalangan sipil masih tumbuh. Status itu justru akan menghambat inisiatif damai di kalangan masyarakat.

Yang diperlukan adalah upaya damai non-militer seperti mediasi dan negosiasi. Kalau keduanya bisa diupayakan, mengapa harus darurat militer? Seperti petir di siang bolong!

Download
pdf format: Pela Newsletter Vol. 1 No. 1 Pela Newsletter Vol. 1 No. 1

Buletin Semai Damai: Agama dan Damai

BuletinPublikasi Friday, 17 March 2017

Image
(klik image untuk memperbesar)
Seri Buletin Semai Damai
Edisi Bulan Desember
Bahasa Indonesia
Kata Pengantar Salam Damai!

Bulan Desember identik dengan perayaan Natal, oleh karena itu di bulan Desember 2013 ini Buletin Semai Damai juga mengangkat tema yang berkaitan dengan Natal dan keberagaman agama. Anak-anak sedari kecil kita ajarkan mengenai indahnya keberagaman dan kebersamaan, bahwa kita hidup dalam masyarakat yang beragam kepercayaannya dan oleh karenanya kita perlu untuk saling memahami dan menghargai keberagaman itu.

Natal, lahirnya Tuhan Yesus selalu dirayakan dengan sukacita, merayakan kelahiran Juru Selamat yang kasih dan sayangnya melintasi keberagaman, bukan untuk kelompok tertentu saja. Semangat kasih lintas keberagaman itu tentunya ingin kita hidupi dalam bermasyarakat. Masyarakat yang beragam, yang menganut berbagai agama dan kepercayaan mari kita lihat sebagai suatu kekayaan untuk saling memahami, saling mengasihi, karena itulah yag dibawa oleh semua nilai damai dalam agama, berbagi kasih dan damai untuk semua umat dan makhluk-Nya.

Semoga semangat kasih dan damai dalam Natal kiranya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menerapkan nilai-nilai damai dalam kehidupan sehari-hari.

Selamat membaca!

Download eBook (PDF)
Bina Damai - Semai Damai Desember Bina Damai – Semai Damai Desember
1234

Recent Posts

  • Buku : Dua Menyemai Damai : Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi
  • Buku : Pandemi, Konflik, Transformasi : Tantangan Demokrasi dan Inklusi Sosial
  • Buku : Agensi Perempuan Dalam Lingkaran Ekstremisme Kekerasan : Narasi dari Poso, Bima, Lamongan dan Deli Serdang
  • Serial Webinar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), UGM
  • [PEACE GOERS FESTIVAL-online] “Damai Itu Keren”
Universitas Gadjah Mada

PUSAT STUDI KEAMANAN DAN PERDAMAIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Sekip K-9 Yogyakarta 55281
email: ps.kp@ugm.ac.id
Telp./Fax : (0274) 520733

© 2017 CSPS Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju