• UGM
  • IT Center
  • Perpustakaan Pusat
  • Research
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
  • Home
  • Tentang Kami
    • sejarah
    • Visi dan Misi
    • Profil Pengurus
      • Plt Kepala PSKP
      • Sekretaris
    • Profil Tim Ahli
    • Profil Peneliti
    • Profil Karyawan
    • Struktur Organisasi
    • Patner
  • Penelitian
  • Kegiatan
    • Workshop
    • Konferensi
    • Pelatihan
    • Diskusi
    • Advokasi
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Monograf
    • Buletin
    • Buku Saku
    • Newslatter
    • Artikel
  • Ruang Pustaka
  • Beranda
  • Opini
  • page. 2
Arsip:

Opini

Overcoming Collapsed Peace Processes

Opini Friday, 17 March 2017

Jumat, 28 Januari 2011

Dalam buku terbarunya, Overcoming Collapsed Peace Processes (LAP Lambert Academic Publishing, 978-3-8433-9432-1, January 2011), Titik Firawati menganalisis proses negosiasi di Aceh dan di Thailand Selatan. Buku ini membandingkan Aceh sebagai kasus proses perdamaian berkelanjutan dan Thailand Selatan sebagai kasus proses perdamaian yang gagal. Perbandingan ini akan memberikan pemahaman kita mengapa suatu proses perdamaian dapat berhasil sementara yang lain gagal.

overcoming“No rain without stopping, no war without ending,” according to conventional wisdom. War would cease to some point, but it may take different routes of terminating. Besides elimination and capitulation, negotiation is another route of ending the war peacefully. In many cases, negotiation that can produce a peace agreement is a rocky process, but it is possible to achieve. Indonesia is a case in point. The government and GAM (Gerakan Aceh Merdeka, Free Aceh Movement) finally signed a peace treaty in 2005 after almost three decades of civil war. So far, there have been no serious complaints about the implementation of the treaty, only minor ones. With the same factors that influence negotiation, the process may fail along the way. South Thailand is an example of this case. The government and Bersatu (United Front for the Independence of Pattani) remain at war albeit sporadically. This book compares Aceh as a case of sustained peace process and South Thailand as a case of collapsed peace process. It will contribute to our understanding why a peace process is sustained while others are disintegrated.

Informasi Terkait
Book on Demand: Overcoming Collapsed Peace Processes
Amazon: Overcoming Collapsed Peace Processes

Pengelolaan Konflik dalam Industri Ekstraktif

Opini Friday, 17 March 2017

Jumat, 12 November 2010

Ucu Martanto, peneliti PSKP UGM, dalam tulisan ini menyatakan bahwa konflik kekerasan yang terjadi di daerah sekitar industri berdampak negatif bagi negara (pemerintah), perusahaan, dan masyarakat. Tulisan ini merupakan perluasan dari materi yang disampaikan dalam Pelatihan Dasar Konflik dan Penanganan Konflik Industri Ekstraktif, 25-28 Oktober 2010 di Yogyakarta.

Kemampuan untuk mengelola konflik menjadi hal yang sangat penting untuk upaya meminimalisasi kerugian-kerugian ekonomi, sosial, dan politik. Kemampuan tersebut tidak hanya harus dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat tetapi juga  perusahaan. Bahkan, pada banyak kasus di Indonesia konflik kekerasaan dalam industri ekstraktif selalu melibatkan perusahaan sebagai pihak pertama.

Download Artikel Selengkapnya
DOWNLOAD: Martanto_Pengelolaan Konflik Industri Ekstrakti Martanto_Pengelolaan Konflik Industri Ekstrakti (301.95 Kb)

Konflik Pertambangan: Mengelola Paradoks (Perspektif Demokrasi Politik)

Opini Friday, 17 March 2017

Rabu, 10 November 2010

Dalam tulisan ini Frans de Djalong memperlihatkan dimensi-dimensi penting yang membentuk ruang lingkup konflik terkait praktik pertambangan dan resistensi masyarakat terhadap eksploitasi SDA. Tulisan singkat ini merupakan elaborasi lanjut materi yang disampaikan dalam Pelatihan Dasar Konflik dan Penanganan Konflik Industri Ekstraktif (Yogyakarta, 25-28 Oktober 2010).

Dalam satu dekade terakhir, konflik pertambangan tak dapat dipisahkan dari dinamika demokratisasi dan penguatan isu kesejahteraan. Demokratisasi membentuk kesadaran baru di kalangan masyarakat bahwa eksploitasi sumber daya alam di daerah mereka perlu dikontrol dan dimanfaatkan demi kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat lingkar tambang. Meski demikian, konflik-konflik yang muncul sebagian besar memperlihatkan kontestasi antara legitimasi dan legalitas, atau kontestasi dalam dua paradigma yang saling bertabrakan: paradigma hukum dan paradigma politik.

Tulisan ini juga berargumentasi bahwa kajian konflik dan kelola konflik pertambangan patut mempertimbangan dua skenario atau formula pendekatan, yakni pertama, pendekatan kajian konflik terkait pembuatan kebijakan (process and input side) dan kedua, pendekatan kajian konflik terkait implikasi kebijakan (process and output side).

Download Artikel Selengkapnya
DOWNLOAD: Djalong_Konflik Pertambangam Djalong_Konflik Pertambangam (138.35 Kb)

Defence Reform in Indonesia

Opini Friday, 17 March 2017

Selasa, 21 Juli 2009

Moch. Faried Cahyono, menulis soal Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia (Defence Reform in Indonesia),  di Brunei Times, 20 Juli 2009. Menurutnya, meskipun dari sisi politik dan hukum reformasi sektor keamanan bisa dikatakan berhasil menggeser tentara tidak lagi bisa aktif di kehidupan politik, sebagaimana disyaratkan sebuah pemerintahan modern, tetapi reformasi tentara sebetulnya belum lagi berhasil, karena mengabaikan pendekatan ekonomi, dimana tentara seharusnya juga dipandang sebagai pelaku ekonomi.

Karena pendekatan ekonomi tidak digunakan dalam reformasi sector keamanan, maka meskipun tentara tidak boleh lagi aktif di politik, dampak kekerasan atas kebijakan itu, masih terus terjadi hingga saat ini. Diantaranya, kekerasan terjadi terus menerus antara anggota polisi (yang mendapat mandat menjaga keamanan) dan tentara (yang semula memegang mandate itu selain mandate pertahanan).

Kekerasan juga muncul dibebereapa daerah, diantaranya di Jayapura beberapa waktu lalu, akibat tidak puasnya anggota kepada komandannya. Juga masalah lain menyangkut rendahnya penganggaran alutista. Dari sisi pendekatan ekonomi, penyelesaian soal ini sebetulnya sederhana. Tentara akan sukarela dipinggirkan dari ranah politik dan bersedia dibarakkan dan hanya mengurusi soal pertahanan Negara, apabila dan hanya bila pembarakan tentara itu disertai pula dengan insentip (kesejahtaraan) yang sama atau lebih baik dibanding yang sebelumnya didapat tentara ketika aktif di politik. Harus dipahami, tentara adalah pelaku ekonomi, Person prajurit membutuhkan pekerjaan untuk mensejahterakan diri dan keluarganya. Manakala soal ini tidak diperhatikan, maka perlawanan tentara yang kehilangan akses politik (dan kesejahteraannya) akan tetap terjadi.(mfc)

Download/Read Opinion (English)
Read (html page): The Brunei Times
Download (pdf): MFC_Defence Reform in Indonesia MFC_Defence Reform in Indonesia (155.68 Kb)

Kecenderungan Terjadinya Defisit Demokrasi 2009

Opini Friday, 17 March 2017

Rabu, 04 Maret 2009

Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang defisit, ungkap Zuly Qodir dalam opini yang dimuat Jawa Pos 1 Maret 2009. Demokrasi yang minus etika dan minus substansi sekalipun berjalan lancar dalam prosesnya. Kepentingan rakyat sering “tenggelam dalam kepentingan elit”. Seperti pilkada sebagai mekanisme demokrasi hanyalah untuk mengisi kekosongan kepala daerah, bukan untuk kepentingan rakyat.

Selain itu adanya partai-partai politik hanyalah partai yang instan menjadi besar. Mereka tidak terbukti mampu memberikan banyak dalam hal kepastian penegakan hukum, perbaikan sistem pemerintahan, dan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat. Sehingga mereka cenderung membuat kebijakan negara yang buruk.

Buruknya demokrasi di Indonesia juga terjadi karena perpecahan partai yang sangat sering, termasuk pada partai-partai besar pemenang pemilu seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKB, PAN, dan PPP. Partai-partai besar pemenang pemilu itu lebih banyak disibukkan oleh urusan internal yang menyita energi, sehingga melupakan kinerja dalam pemerintahan sebagai partai pemenang pemilu. Beban partai-partai besar tersedot untuk urusan konflik internal, di samping memperbaiki ”citra buruk” di mata masyarakat selama rezimnya berkuasa.

Baca/Download Artikel Selengkapnya
Baca (halaman html): Jawa Pos Online
Download (pdf): ZQ_Kecenderungan Terjadinya Defisit Demokrasi 2009 ZQ_Kecenderungan Terjadinya Defisit Demokrasi 2009 (154.54 Kb)

Membawa Pendidikan Perdamaian ke Sekolah

Opini Friday, 17 March 2017

Senin, 30 Juni 2008

Harian Media Indonesia 30 Juni 2008 mempubikasikan tulisan Samsu Rizal Panggabean, peneliti PSKP UGM, mengenai pendidikan perdamaian di sekolah. Rizal Panggabean mengawali tulisannya dengan mengungkapkan bahwa kajian tentang perdamaian sudah cukup lama menjadi perhatian berbagai kalangan di Indonesia.

Khususnya tahun 80-an saat lomba senjata nuklir dan perang dingin yang meningkatkan gerakan perdamaian secara pesat di dunia. Isu nuklir yang sebelumnya menjadi rahasia negara dibawa ke diskusi publik. Gerakan ini berhasil memperkenalkan dan mempopulerkan metode perlawan tanpa kekerasan.

Tahun 1980-an di Indonesia, almarhum Prof. T. Jacob mengadakan rangkaian seminar Palemologi di UGM. Sementara M. Dawam Rahardjo dan cendikiawan lainnya melalui majalah seperti Prisma membicarakan perdamaian dan penyelesaian nirkekerasan. Tahun 1990 muncul kajian-kajian perdamaian mendampingi gerakan perdamaian. Di UGM muncul beberapa mata kuliah baru yang terkait dengan riset perdamaian dan resolusi konflik. Ada banyak lembaga studi dan LSM didirikan, lembaga ini bergerak langsung dimasyarakat –dengan anak-anak dan pemuda, dengan perempuan dan tokoh masyarakat.

Langkah berikutnya, menurut Panggabean, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membawa pendidikan perdamaian ke lingkungan sekolah dan kelas. Ada banyak masalah yang berkaitan dengan kekerasan dikalangan pelajar: tawuran, kenakalan di sekolah, kejahatan di jalanan, bullying, serangan seksual, persangka buruk, dan streotip negatif. Panggabean juga mengulas resiko prilaku kekerasan ini pada Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Mengembangkan perilaku yang pro-sosial dan cara-cara mengelola amarah adalah unsur lain program pencegahan kekerasan di kalangan siswa di dalam lingkungan sekolah. Selanjutnya Panggabean memberikan beberapa ilustrasi program pencegahan kekerasan dan daerah-daerah mana yang perlu mendapat prioritas.[sy]

Baca/Download Artikel Selengkapnya
Baca (halaman html):  Media Indonesia Online
Download (pdf): SRP_Membawa Pendidkan Perdamaian Ke Sekolah SRP_Membawa Pendidkan Perdamaian Ke Sekolah (185.65 Kb)

Manajemen Konflik Berbasis Sekolah

Opini Friday, 17 March 2017

Senin, 02 Juni 2008

“Bisakah sekolah menjadi tempat siswa mempelajari bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara damai? Apakah praktik dan tradisi bertengkar, tawuran, penerapan aturan disiplin yang ketat, serta bullying dapat dihilangkan dari lingkungan pendidikan anak-anak Indonesia?” Adalah pertanyaan yang mengawali dan akan dijawab Rizal Panggabeandalam tulisannya yang dipublikasikan Media Indonesia tanggal 2 Juni 2008.

Penulis menyatakan bahwa lingkungan ‘dalam’ dan ‘luar pagar’ sekolah mempengaruhi perilaku siswa. Dan sekolah tempat konflik dalam berbagai bentuk dan melibatkan berbagai pihak. Supaya konflik tidak mengganggu siswa secara fisik maupun psikologis, maka konflik tersebut harus dikelola dengan tepat dan baik. Manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS) adalah satu pendekatan yang perlu dilakukan di sekolah.

MKBS digunakan banyak negara, ada beberapa sekolah di Indonesia yang menerapkannya. MKBS berhubungan langsung dengan unsur pendidikan anak, yaitu keterampilan sosial (social skill) dan keterampilan hidup (life skill). MKBS mengajarkan penghargaan kemajemukan dan perbedaaan di sekolah.

Agar sekolah bisa menerapkan MKBS, beberapa hal perlu dipertimbangkan siswa, guru, dan kepala sekolah. Salah satu di antaranya adalah bagaimana merancang proses belajar dan mengajar yang tidak terpaku pada keterampilan akademik saja, dalam rangka mengejar target materi ajar. Komponen penting kurikulum pendidikan anak yaitu keterampilan sosial dan keterampilan hidup, perlu menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Karena hal ini memberikan siswa kemampuan menghadapi masalah dan mengelola konflik. Selanjutnya Panggabean mengulas cara-cara untuk memberikannya.[sy]

Baca/Download Artikel Selengkapnya
Baca (halaman html): Media Indonesia Online
Download (pdf): SRP_Manajemen Konflik Berbasis Sekolah SRP_Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (182.65 Kb)

 

Ayat-ayat Damai dari Poso

Opini Friday, 17 March 2017

Kamis, 10 April 2008

Muhammad Najib Azca, peneliti PSKP UGM yang sekarang sedang mengikuti program doktor di Universiteit van Amsterdam (UvA), bersama-sama komunitas Muslim dan Kristen yang sempat mengayunkan ‘parang peperangan’ di Poso menyaksikan pemutaran film Ayat-ayat Cinta. Polah dan keakraban dua komunitas ini saat menyaksikan film yang kental hubungan antaragama ini menggugah Azca menulis artikel ini.

Dalam tulisan yang dipublikasikan Koran Tempo 10 April 2008 ini, Azca menyampaikan acara nonton-bareng film ini menunjukkan proses perdamaian di Poso memasuki babak lanjutan yang cukup menjanjikan. Dan ada sejumlah indikasi positif. Bahwa sejak penyerbuan polisi 23 Januari 2008 lalu, nyaris tidak ada tindak kekerasan yang berarti. Demikian pula saat perayaan maulid nabi dan hari raya Paskah. Juga ada sokongan dana recovery dari pemerintah yang sedemikan besar.

Namun Azca juga melihat sejumlah kendala. Diantaranya adalah korupsi dan penyunatan dana pembangunan, rendahnya kualitas tata kelola pemerintahan, konflik antar elit lokal, dan banyak mantan milisi yang belum mendapat kesempatan pengembangan ekonomi.

Nah, dari jalan berliku tersebut, Azca melihat inisiatif sejumlah kaum muda secara bersama-sama untuk menonton film Ayat-ayat Cinta memercikkan warna cerah pada potret kusam Poso.[sy]

Baca/Download Artikel Selengkapnya
Baca (halaman html): Koran Tempo Online
Download (pdf): Azca_Ayat-Ayat Damai Dari Poso Azca_Ayat-Ayat Damai Dari Poso (169.08 Kb)

Resolusi (untuk) Konflik Polisi dengan Tentara

Opini Friday, 17 March 2017

Minggu, 10 Februari 2008

Konflik antara polisi dan tentara di negeri ini tampaknya tidak tuntas-tuntas.  Akhir bulan lalu (30 Januari 2008) kembali terjadi di Masohi, Maluku Tengah. Memakan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Ini adalah kejadian yang menyedihkan bagi keluarga korban, menakutkan bagi penduduk setempat, dan (harusnya) membuat malu para pejabat. Tulisan Moch. Faried Cahoyo ini mencoba menganalisa mengapa ini terus terjadi.

Menurut Moch. Faried Cahyono dengan merujuk Galtung, baku tembak yang terjadi antara polisi dan tentara merupakan kekerasan dipermukaan. Jika hanya bagian ini yang diselesaikan (seperti yang selama ini dilakukan), maka yang terjadi adalah ‘perdamaian negatif’ yang sifatnya tidak langgeng.

Karena itu, harus diselesaikan pula kekerasan yang ada di bawah permukaan, yang menjadi latar peristiwa berdarah itu. Misalnya, adakah sumber-sumber kekerasan berupa sikap, perasaan juga nilai-nilai yang menjurus pada terjadinya kekerasan antar tentara dan polisi. Kemudian Moch. Faried Cahyono menggali lebih dalam masalah di bawah permukaan ini, dan mengusulkan langkah-langkah apa yang harus dilakukan.[sy]

Download Artikel Selengkapnya
pdf format: MFC_Resolusi Untuk Konflik Polisi dengan Tentara MFC_Resolusi Untuk Konflik Polisi dengan Tentara (177.30 Kb)

Tantangan Komisi Peacebuilding

Opini Friday, 17 March 2017

Kamis, 01 November 2007

Makalah yang disampaikan Muhadi Sugiono dalam ‘Expert Meeting Group on Strengthening Peacebuilding Commission and Regional Organization‘ (Jakarta, 31 Oktober 2007) ini terkait dengan tantangan yang dihadapi Komisi Peacebuilding yang secara mendasar terkait degan isu-isu konseptual, struktural, dan masalah teknis. Makalah ini hanya terkait dengan isu konseptual dari tantangan yang dihadapi Komisi Peacebuilding.

Komisi Peacebuilding didirikan pada 20 Desember 2005 melalui resolusi bersama Dewan Keamanan PBB (S/RES/1645) dan Majelis Umum (A/RES/60/180). Awal tahun ini, Komisi telah menyampaikan laporan kepada Majelis Umum pada tahun pertama operasi dilakukan di dua negara: Burundi dan Siearra Leone (2007). Dalam laporan tersebut, Komisi Peacebuilding menunjukkan bahwa karya-karya Komisi di kedua negara telah memberikan pelajaran bagi kebijakan dan praktek peacebuilding yang lebih baik di masa mendatang. Pada saat yang sama, Komisi juga mengidentifikasi tantangan serius ke depan. Salah satu yang paling serius dari mereka adalah bagaimana untuk mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan yang lebih luas tetapi lebih kohesif dalam kegiatan peacebuilding. Tantangan ini, bagaimanapun, tidak hanya teknis dan organisasi. Mendasari tantangan ini adalah konseptual, struktural serta masalah praktis.

Download Artikel Selengkapnya di website Muhadi Sugiono (PDF)
A Need for Common Understanding: Peacebuilding Commission and Its Challenges
1234

Recent Posts

  • Buku : Dua Menyemai Damai : Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi
  • Buku : Pandemi, Konflik, Transformasi : Tantangan Demokrasi dan Inklusi Sosial
  • Buku : Agensi Perempuan Dalam Lingkaran Ekstremisme Kekerasan : Narasi dari Poso, Bima, Lamongan dan Deli Serdang
  • Serial Webinar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), UGM
  • [PEACE GOERS FESTIVAL-online] “Damai Itu Keren”
Universitas Gadjah Mada

PUSAT STUDI KEAMANAN DAN PERDAMAIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Sekip K-9 Yogyakarta 55281
email: ps.kp@ugm.ac.id
Telp./Fax : (0274) 520733

© 2017 CSPS Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju